Akademisi AS Terancam Hukuman Berat di Thailand Akibat Dugaan Penghinaan Monarki
Akademisi AS Terjerat UU Penghinaan Monarki di Thailand: Ancaman Hukuman Berat Mengintai
Seorang akademisi asal Amerika Serikat, Paul Chambers, menghadapi panggilan dari kepolisian Thailand atas tuduhan penghinaan terhadap monarki. Kasus ini memicu kekhawatiran di kalangan internasional, terutama terkait dengan penerapan hukum lèse-majesté Thailand terhadap warga negara asing. Pengaduan terhadap Chambers diajukan oleh pihak militer, terkait dengan komentar yang ia sampaikan dalam sebuah diskusi daring. Komentar tersebut dinilai menghina atau menunjukkan kebencian terhadap Raja Maha Vajiralongkorn, Ratu, pewaris takhta, atau bupati, serta menyebarkan data komputer palsu yang berpotensi mengancam keamanan nasional.
Tuduhan dan Potensi Konsekuensi Hukum
Chambers, seorang dosen di Universitas Naresuan yang dikenal sebagai ahli politik kerajaan, menyatakan bahwa tuduhan tersebut berasal dari partisipasinya dalam webinar tahun lalu. Dalam sesi tanya jawab, ia membahas hubungan antara militer Thailand dan monarki. Ia meyakini dirinya sebagai warga negara asing pertama dalam beberapa tahun terakhir yang menghadapi tuduhan serupa.
Human Rights Watch menyatakan bahwa polisi di Provinsi Phitsanulok, Thailand, telah setuju untuk tidak menahan Chambers untuk saat ini. Namun, ia dipanggil untuk secara resmi mengakui tuduhan tersebut di kantor polisi pada hari Selasa mendatang. Polisi Phitsanulok belum memberikan komentar resmi terkait kasus ini.
Kontroversi Hukum Lèse-majesté di Thailand
Hukum lèse-majesté Thailand melindungi Raja dan keluarga dekatnya dari kritik. Pelanggaran terhadap hukum ini dapat berujung pada hukuman penjara hingga 15 tahun. Undang-undang ini, yang dikenal sebagai Pasal 112 KUHP Thailand, telah menuai kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa interpretasi yang luas dan hukuman yang berat dari undang-undang ini digunakan untuk membungkam kritik yang sah dan perdebatan publik. Penggunaan Pasal 112 telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah protes yang dipimpin oleh kaum muda pada tahun 2020 yang menuntut reformasi peran monarki dalam kehidupan publik.
Beberapa kasus menunjukkan beratnya hukuman yang mungkin dihadapi oleh pelanggar. Seorang pria di Thailand utara dijatuhi hukuman penjara minimal 50 tahun karena dianggap menghina raja tahun lalu. Pada tahun 2021, seorang wanita dijatuhi hukuman penjara selama 43 tahun atas pelanggaran serupa.
Reaksi Internasional dan Implikasi
Kasus Paul Chambers menjadi sorotan internasional. Para pengawas internasional telah menyatakan keprihatinan atas meningkatnya penggunaan UU lèse-majesté terhadap akademisi, aktivis, dan mahasiswa. Kasus ini menyoroti tantangan kebebasan berekspresi di Thailand dan menimbulkan pertanyaan tentang independensi sistem peradilan dalam kasus-kasus yang melibatkan monarki. Perkembangan kasus ini akan terus dipantau oleh komunitas internasional, dengan harapan bahwa keadilan akan ditegakkan dan hak-hak Chambers akan dilindungi.
Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Dakwaan: Paul Chambers dituduh menghina monarki dan menyebarkan informasi palsu.
- Hukuman: Ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
- Kritik: Hukum lèse-majesté Thailand dikritik karena menekan kebebasan berekspresi.
- Kasus Sebelumnya: Hukuman berat telah dijatuhkan dalam kasus serupa.
- Perhatian Internasional: Kasus ini menjadi perhatian komunitas internasional terkait hak asasi manusia dan kebebasan akademik.