Pemungutan Suara Ulang: Ujian Integritas Demokrasi dan Beban Anggaran Rakyat
Pemungutan Suara Ulang: Ujian Integritas Demokrasi dan Beban Anggaran Rakyat
Demokrasi idealnya dibangun di atas fondasi hukum yang kokoh, proses yang transparan, dan hasil yang kredibel. Namun, realitas Pilkada 2024 menghadirkan potret buram, di mana prosedur dijalankan, tetapi integritasnya dipertanyakan. Keabsahan formal terasa hampa tanpa substansi yang kuat.
Perintah Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di berbagai daerah menjadi indikasi adanya masalah serius dalam proses demokrasi. Lebih ironisnya, biaya untuk memperbaiki kesalahan tersebut ditanggung oleh rakyat, yang seharusnya tidak bertanggung jawab atas cacatnya sistem.
Daftar Daerah yang Melaksanakan PSU
Saat ini, PSU tengah berlangsung di enam wilayah:
- Kota Sabang (Aceh)
- Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah)
- Kabupaten Bungo (Jambi)
- Kabupaten Pulau Taliabu (Maluku Utara)
- Kabupaten Buru (Maluku)
- Kabupaten Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara)
Keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib melaksanakannya. Namun, PSU bukan sekadar pelaksanaan perintah hukum, melainkan peringatan bahwa demokrasi sedang menghadapi tantangan yang signifikan. Total ada 24 daerah yang terdampak PSU, menunjukkan adanya pola masalah yang sistemik, bukan sekadar kasus insidental.
PSU bukan disebabkan oleh faktor alam atau kejadian luar biasa, melainkan oleh kesalahan manusia, seperti kelalaian penyelenggara, pengawas yang tidak cermat, dan kecurangan peserta pemilu. Di Banggai, lebih dari 50 Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus diulang karena pelanggaran prosedur. Di Bungo, 8.412 warga harus memberikan suara ulang karena masalah pada daftar pemilih. Di Pulau Taliabu, ribuan pemilih harus mengulang hak suaranya akibat distribusi logistik yang berantakan. Ironisnya, semua biaya ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Dampak Finansial dan Kepercayaan Publik
Dalam sistem hukum, PSU diakui sebagai bentuk koreksi. Namun, koreksi seharusnya tidak menjadi kebiasaan, apalagi jika bebannya ditimpakan kepada korban dari proses yang korup. PSU bukan hanya masalah teknis elektoral, tetapi juga indikasi kegagalan struktural dalam penyelenggaraan pemilu. Jika PSU dianggap sebagai pengulangan teknis biasa, maka kekacauan akan dianggap normal, dan publik akan terbiasa dengan mencoblos ulang. Padahal, setiap PSU adalah kejadian luar biasa yang menandakan kerusakan pada fondasi demokrasi, yaitu kepercayaan.
Anggaran yang dibutuhkan untuk PSU di 24 daerah diperkirakan mencapai Rp 392 miliar. Jumlah ini sangat besar, terutama dalam kondisi keuangan yang sulit, ketika banyak daerah harus memangkas anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Dana ratusan miliar rupiah justru digunakan untuk mengulang pemilu, bukan untuk memajukan demokrasi, melainkan untuk memperbaiki kerusakan akibat kelalaian.
Dalam negara hukum, penyelenggara pemilu seharusnya bertanggung jawab. Namun, dalam kenyataannya, tidak ada yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PSU. Yang membayar adalah rakyat, yang dihukum adalah partisipasi publik, dan yang dilukai adalah kepercayaan.
Akar Masalah dan Rekomendasi Perbaikan
Dari perspektif hukum pemilu, ada beberapa akar masalah yang terus berulang:
- Lemahnya verifikasi administratif dan faktual terhadap syarat calon kepala daerah.
- Tidak profesionalnya penyelenggara pemilu di tingkat lokal.
- Tumpulnya fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
- Masih kuatnya praktik politik uang dan intervensi kekuasaan lokal.
PSU adalah konsekuensi mahal dari ketidaksiapan sistem dan aktor demokrasi. Jika pemerintah dan penyelenggara pemilu tidak segera melakukan koreksi menyeluruh, maka PSU bisa menjadi pola yang terus berulang di setiap pemilu. Perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh, dari proses pencalonan, logistik, daftar pemilih, hingga etika penyelenggara.
Untuk mencegah PSU menjadi praktik rutin, perlu dilakukan langkah-langkah struktural:
- Evaluasi kinerja KPU dan Bawaslu secara terbuka di daerah-daerah yang menjalani PSU.
- Revisi regulasi untuk memperkuat sanksi bagi penyelenggara dan peserta pemilu yang terbukti melanggar dan menyebabkan PSU.
- Alokasi anggaran PSU harus ditinjau kembali. Jika PSU adalah hasil dari pelanggaran yang disengaja atau kelalaian, maka pembiayaan seharusnya tidak sepenuhnya ditanggung APBD.
Membangun Kembali Kepercayaan Publik
Yang terpenting adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemilu. PSU merusak legitimasi demokrasi. Ketika warga diminta memilih ulang, muncul pertanyaan: apakah suara pertama mereka tidak dihargai? Apakah suara kedua akan dihitung dengan benar? Publik kehilangan kepercayaan karena proses pemilu dapat dibeli, diatur, dan diulang sesuai kepentingan. Ini adalah bahaya laten demokrasi elektoral. Demokrasi bisa tetap hidup secara prosedural, tetapi mati secara substantif. Rakyat datang ke TPS, tetapi tidak merasa berdaulat.
PSU harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran, bukan sekadar pengulangan pemilu. Kita harus membangun demokrasi yang lebih sehat, bermartabat, dan berpihak kepada rakyat, bukan elite politik. Dalam demokrasi yang sehat, kecurangan dihukum, bukan diulang. Dalam negara hukum yang kuat, kesalahan ditanggung oleh pelaku, bukan dibebankan kepada korban. Namun, yang terjadi saat ini adalah rakyat yang taat prosedur harus membayar ulang untuk demokrasi yang cacat.
Jika PSU menjadi hal biasa, maka keadilan menjadi ilusi, dan pemilu menjadi transaksi ulang. Kita tidak sedang membenahi demokrasi, tetapi menukar suara rakyat dengan tagihan fiskal yang tak berkesudahan. Kita harus menolak anggapan bahwa PSU adalah solusi. PSU adalah gejala dari sistem pemilu yang rapuh. Kita butuh reformasi total, bukan sekadar repetisi prosedural. Karena demokrasi yang cacat, meski diulang, tetap saja melukai.