Jerat Rangkap Jabatan dan Kemiskinan Struktural: Mengurai Benang Kusut Kesenjangan di Indonesia

Ironi Rangkap Jabatan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia

Pernyataan visioner Bung Karno tentang perjuangan melawan bangsa sendiri kini menemukan relevansinya dalam realitas pahit Indonesia. Musuh utama bangsa bukan lagi penjajah asing, melainkan keserakahan elite yang memperkaya diri di tengah kemiskinan struktural yang mencekik rakyat.

Fenomena rangkap jabatan, di mana pejabat publik menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan dan BUMN, menjadi salah satu manifestasi dari ketidakadilan ini. Di saat masyarakat berjuang mencari nafkah, para pejabat menikmati gaji dan fasilitas ganda, memperlebar jurang ketimpangan dan melanggengkan sistem yang menindas.

Akar Permasalahan Rangkap Jabatan

Praktik rangkap jabatan seringkali dibungkus dengan alasan optimalisasi kinerja dan kebutuhan pengalaman. Namun, kenyataannya, hal ini lebih mencerminkan penyalahgunaan wewenang dan konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite. Kajian Ombudsman RI tahun 2020 menunjukkan bahwa ratusan penyelenggara negara terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN dan anak perusahaannya. Ironisnya, praktik ini melanggar sejumlah undang-undang, termasuk UU Kementerian Negara dan UU Pelayanan Publik, yang secara tegas melarang rangkap jabatan untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan pelayanan publik yang prima.

Beberapa aturan yang dilanggar dalam rangkap jabatan:

  • Pasal 23 UU Kementerian Negara
  • Pasal 17 UU Pelayanan Publik
  • UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
  • UU Tipikor
  • UU Aparatur Sipil Negara

Dampak Rangkap Jabatan: Konflik Kepentingan dan Distorsi Kebijakan

Rangkap jabatan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang serius, memengaruhi proses pengambilan keputusan dan merusak kredibilitas pejabat publik. Akses yang lebih besar terhadap sumber daya negara dan jaringan politik yang kuat memungkinkan pejabat yang merangkap jabatan untuk memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan rakyat. Hal ini dapat menyebabkan distorsi kebijakan dan alokasi sumber daya yang tidak adil.

Kemiskinan Struktural: 'Rangkap Penderitaan' Rakyat Kecil

Di tengah praktik rangkap jabatan yang menguntungkan segelintir elite, rakyat kecil harus menghadapi 'rangkap penderitaan'. Kemiskinan struktural, yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi beban yang tak tertahankan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jutaan penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, meskipun persentase kemiskinan mengalami penurunan secara statistik.

Namun, angka-angka statistik ini seringkali tidak mencerminkan realitas yang dihadapi masyarakat di pelosok desa dan perkampungan kumuh. Harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, pengangguran yang meningkat, dan akses terbatas terhadap pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas memperburuk kondisi kemiskinan. Kemiskinan bukan hanya soal pendapatan yang rendah, tetapi juga tentang sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.

Urgensi Pembenahan Struktural dan Kebijakan Pro-Rakyat

Untuk mengatasi paradoks rangkap jabatan dan kemiskinan struktural, pemerintah perlu melakukan pembenahan secara struktural dan menerapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Reformasi agraria yang adil, distribusi ekonomi yang merata, dan penegakan hukum terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan harus menjadi prioritas utama.

Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran yang justru berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Keterlambatan belanja daerah akibat petunjuk teknis yang belum rampung dapat memperlemah perekonomian daerah dan memperburuk kondisi kemiskinan.

Pemerintah harus berhenti berpuas diri dengan angka-angka statistik dan mulai mendengar jeritan rakyat. Jabatan publik adalah amanah sakral yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, bukan ajang komoditi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi semu, sementara rakyatnya tetap terjebak dalam kemiskinan yang tak berujung.