Kapur Barus: Komoditas Berharga Nusantara yang Mendunia Sejak Abad Pertengahan
Kapur Barus: Komoditas Berharga Nusantara yang Mendunia Sejak Abad Pertengahan
Sejak abad pertengahan, rempah-rempah dan komoditas berharga dari Nusantara telah menarik minat pedagang dari berbagai penjuru dunia. Salah satu komoditas yang paling diburu adalah kapur barus, atau kamper, yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dan bahkan disebut-sebut dalam kitab suci Al-Qur'an. Bukti sejarah menunjukkan aktivitas perdagangan kapur barus yang intensif melibatkan pedagang dari Arab, Persia, China, India, dan Eropa, menjadikan komoditas ini sebagai salah satu penggerak utama ekonomi maritim Nusantara pada masa lampau.
Ayat Al-Qur'an surah Al-Insan ayat 5 menyebutkan kafur, yang oleh banyak mufassir diartikan sebagai air kapur barus. Interpretasi ini mendorong minat pedagang dari dunia Islam untuk mencari komoditas tersebut di Nusantara, yang kala itu dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan komoditas berharga lainnya. Melimpahnya kapur barus di hutan-hutan Sumatera Utara, khususnya di wilayah Barus, menjadikannya sebagai pusat perdagangan komoditas ini. Harga kapur barus kala itu bahkan setara dengan emas, mencerminkan nilai dan daya tariknya di mata pedagang internasional.
Bukti-bukti sejarah keberadaan perdagangan kapur barus sangat melimpah. Prasasti Tamil yang ditemukan di Desa Lobu Tua, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada tahun 1873 oleh J. Brandes, seorang kontrolir Belanda, menunjukkan bukti aktivitas perdagangan kapur barus yang telah berlangsung lama. Selain itu, berbagai catatan perjalanan pedagang asing, mulai dari Arab dan Persia hingga China dan Eropa, secara konsisten menyebutkan kapur barus sebagai komoditas yang berharga dan banyak diperdagangkan.
Sumber-sumber Arab, seperti Ahbar as-Sin wa I-Hind karya Abu Zayd al-Sirafi (851 M) dan Nukhbat Al-Dahr fi Ajaib Al-Barr wa Al-Bahr karya al-Dimaski (meninggal 1325 M), menyebutkan Fansur (Barus) sebagai penghasil kapur barus berkualitas tinggi. Sumber Persia, seperti Akbarnameh karya Abu al-Fazl, juga mencatat jenis kamper terbaik, ribāhī atau Fancūrī, yang berasal dari daerah yang sama. Catatan-catatan ini menunjukkan reputasi internasional Barus sebagai pusat perdagangan kapur barus.
Peran kapur barus dalam sejarah perdagangan Nusantara juga terkait erat dengan perkembangan Islam di Indonesia. Jajat Burhanudin dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia mencatat bahwa hubungan dagang yang intensif dengan pedagang Arab dan Persia, yang juga bertujuan memperoleh kapur barus, turut berperan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Raja Sriwijaya sendiri, yang kala itu merupakan pusat perdagangan internasional, turut memasukkan kapur barus sebagai komoditas penting dalam surat-suratnya kepada khalifah di Timur Tengah.
Kesimpulannya, kapur barus bukanlah sekadar komoditas perdagangan biasa. Ia merupakan aset berharga Nusantara yang telah berperan penting dalam sejarah perdagangan internasional sejak abad pertengahan. Perannya tidak hanya dalam aspek ekonomi, namun juga dalam konteks hubungan internasional dan penyebaran agama Islam di Indonesia. Eksistensi kapur barus dalam catatan sejarah berbagai bangsa membuktikan pentingnya komoditas ini dalam membentuk jaringan perdagangan maritim global pada masanya. Penelitian lebih lanjut tentang sejarah kapur barus masih diperlukan untuk mengungkap lebih banyak detail tentang perjalanannya yang panjang dan peran pentingnya dalam sejarah dunia.