Analis Soroti Kebijakan Tarif Timbal Balik AS: Beban Berat bagi Ekonomi Indonesia
Ekonom Universitas Andalas (Unand), Syafruddin Karimi, mengkritik keras kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Kebijakan ini dinilai tidak proporsional dan berpotensi merugikan Indonesia secara signifikan.
Karimi menyoroti ketidaksesuaian antara defisit perdagangan Indonesia dengan AS yang relatif kecil dibandingkan negara lain, namun justru dikenakan tarif yang lebih tinggi. Menurutnya, retorika Trump mengenai "keadilan dagang" justru menciptakan ketidakadilan struktural baru yang memberatkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketidakadilan Tarif: Perbandingan dengan Negara Lain
Karimi mencontohkan, Indonesia dikenai tarif sebesar 32 persen oleh AS, padahal defisit perdagangannya dengan AS hanya sekitar 18 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, Vietnam yang memiliki defisit 123 miliar dollar AS dikenai tarif 46 persen, sementara China dengan defisit hampir 300 miliar dollar AS hanya dikenai tarif 34 persen. Perbedaan yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar penetapan tarif dan potensi motif tersembunyi di baliknya.
Dampak Signifikan bagi Daya Saing dan Lapangan Kerja
Kebijakan tarif tinggi ini berpotensi besar menekan daya saing ekspor Indonesia, khususnya di sektor-sektor padat karya seperti:
- Tekstil
- Furnitur
- Alas kaki
Kenaikan tarif akan meningkatkan harga jual produk Indonesia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pembeli beralih ke negara lain. Konsekuensi yang lebih jauh adalah risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di dalam negeri, mengingat sektor ekspor nonmigas merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
Jika kebijakan ini dibiarkan tanpa respons yang tepat, Indonesia berisiko mengalami kontraksi ekspor yang signifikan, yang akan berdampak langsung pada sektor riil dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pergeseran Paradigma Perdagangan: Dari Fair Trade Menuju Fear Trade
Karimi juga mengkritisi pergeseran konsep fair trade (perdagangan adil) yang kini berubah menjadi fear trade, yaitu perdagangan yang didasarkan pada tekanan tarif dan sanksi. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, berada dalam posisi yang sulit akibat tarif tinggi yang dikenakan oleh AS. Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Indonesia dikenai tarif antara 30-49 persen, meskipun Asia Tenggara merupakan pilar penting dalam rantai pasok global pascapandemi.
Alih-alih memperkuat kerja sama dan integrasi ekonomi, Karimi berpendapat bahwa kebijakan Trump justru menciptakan polarisasi dan ketidakpastian dalam sistem perdagangan global.
Posisi Tarif Indonesia Dibanding Negara Lain
Kebijakan tarif timbal balik AS berdampak pada lebih dari 180 negara dan wilayah. Dalam konteks ASEAN, Indonesia dikenai tarif 32 persen, lebih tinggi dari Malaysia (24 persen), Filipina (17 persen), dan Singapura (10 persen). Namun, tarif ini lebih rendah dari Vietnam (46 persen) dan Thailand (36 persen). Sebagai perbandingan, China hanya dikenai tarif 34 persen, selisih tipis 2 persen dari Indonesia. Selain tarif timbal balik ini, Trump juga menetapkan tarif dasar 10 persen bagi semua negara di luar daftar 180 negara, yang dapat dinaikkan jika kondisi manufaktur AS memburuk.
Kebijakan ini menjadi perhatian serius bagi Indonesia karena dapat berdampak luas terhadap perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif kebijakan ini dan menjaga daya saing ekspor Indonesia di pasar global.