Eksistensi Pasar Gembrong Terancam: Pedagang Keluhkan Dominasi E-Commerce dan Pasar Bebas
Pasar Gembrong: Antara Kenangan Manis dan Realita Pahit di Era Digital
Pasar Gembrong, sebuah nama yang melegenda di kalangan pemburu mainan, kini tengah menghadapi tantangan berat. Gemuruh tawa anak-anak yang dulu memenuhi lorong-lorong pasar kini perlahan meredup, tergantikan oleh kekhawatiran para pedagang yang berjuang mempertahankan eksistensi di tengah gempuran era digital dan kebijakan pasar bebas.
Gelombang Disrupsi E-Commerce
Beberapa tahun belakangan ini, para pedagang mainan di Pasar Gembrong merasakan dampak signifikan dari perkembangan e-commerce. Kemudahan berbelanja online dengan harga yang seringkali lebih murah telah menggerus omzet penjualan mereka secara perlahan namun pasti.
Ice, pemilik Toko Mainan Pelangi, mengungkapkan bahwa ia terpaksa memangkas margin keuntungan hingga hanya 10% karena pembeli seringkali membandingkan harga dengan platform online. Bahkan, tak jarang harga di e-commerce justru lebih rendah dari modal yang ia keluarkan.
"Misalnya modal Rp 150.000, di online cuma Rp 140.000. Padahal barangnya beda, gambarnya sama. Jadi banyakan orang tertipunya di gambarnya," ujar Ice, menggambarkan bagaimana persaingan harga yang tidak sehat di dunia maya.
Ice sendiri memilih untuk tidak berjualan online karena khawatir dengan potensi kerusakan barang selama pengiriman. Namun, keputusan ini juga berarti ia harus rela kehilangan pangsa pasar yang semakin beralih ke platform digital.
Dampak Pasar Bebas dan Penurunan Daya Beli
Selain e-commerce, Ice juga menyoroti dampak kebijakan pasar bebas yang menurutnya telah membuka pintu bagi pedagang asing untuk menjual mainan dengan harga yang tidak masuk akal. Ia menduga ada praktik pencatutan nama pedagang lokal untuk menjual barang di bawah harga modal, yang semakin memperburuk situasi.
Penurunan daya beli masyarakat pasca pandemi COVID-19 juga menjadi faktor yang memperparah kondisi Pasar Gembrong. Ice mengenang masa kejayaan Pasar Gembrong sebelum relokasi dan pandemi, di mana omzetnya bisa mencapai Rp 8 juta per hari. Namun kini, di hari biasa, ia hanya bisa mengantongi Rp 1 juta hingga Rp 3 juta.
Momentum Lebaran yang Tak Lagi Membawa Berkah
Alvi, pemilik toko Komahkota Toys, juga merasakan hal serupa. Ia mengakui bahwa e-commerce telah memberikan dampak signifikan terhadap penjualan di tokonya. Bahkan, momentum Lebaran 2025 yang seharusnya menjadi puncak penjualan, justru tidak memberikan dampak yang signifikan.
"Pengaruh juga dari online juga. Pengaruh lah. Kebanting. Harganya juga lebih jauh," keluh Alvi.
Alvi mengungkapkan bahwa omzet penjualannya pada Lebaran tahun ini justru turun hampir 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika tahun lalu ia bisa mendapatkan Rp 15 juta per hari, kini ia hanya mengantongi sekitar Rp 8 juta per hari. Di hari biasa, penghasilannya bahkan hanya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Para pedagang Pasar Gembrong menyadari bahwa mereka tidak bisa terus mengandalkan cara-cara tradisional dalam berbisnis. Mereka berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap nasib mereka dan mencari solusi untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat dengan e-commerce dan dampak negatif dari kebijakan pasar bebas.
Di tengah ketidakpastian ini, para pedagang Pasar Gembrong tetap berusaha untuk bertahan dan beradaptasi. Mereka berharap, Pasar Gembrong tetap menjadi bagian dari sejarah dan kenangan manis bagi generasi mendatang.