Kasus Oknum TNI: Evaluasi SOP Keluar Barak Bukan Solusi Utama, Penguatan Pengawasan dan Pembinaan Lebih Krusial
Kasus Oknum TNI: Evaluasi SOP Keluar Barak Bukan Solusi Utama, Penguatan Pengawasan dan Pembinaan Lebih Krusial
Serangkaian kasus yang melibatkan oknum prajurit TNI, termasuk kasus pembunuhan wartawati di Banjarbaru oleh seorang Kelasi TNI AL, kembali memicu perdebatan mengenai pengawasan dan pembinaan personel militer. Usulan untuk mengevaluasi Standar Operasional Prosedur (SOP) izin keluar barak kembali mengemuka sebagai respons terhadap kejadian tersebut.
Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menekankan perlunya peninjauan ulang aturan terkait aktivitas prajurit di luar barak. Ia menyoroti pentingnya peningkatan pengawasan untuk mencegah pelanggaran. Rizal juga menekankan kemampuan adaptasi prajurit dengan lingkungan sipil.
Tanggapan TNI dan Perspektif Pengamat
Menanggapi usulan tersebut, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menegaskan bahwa komandan satuan (Dansat) memiliki tanggung jawab penuh atas pengawasan setiap prajurit. Ia menekankan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh prajurit juga menjadi tanggung jawab komandan. Kapuspen juga menambahkan bahwa SOP keluar barak sebenarnya sudah ada, dan evaluasi seharusnya lebih mengarah pada penegasan kembali aturan tersebut oleh Dansat kepada prajurit.
Namun, pengamat militer Khairul Fahmi berpendapat bahwa evaluasi SOP keluar barak bukanlah solusi utama untuk mengatasi masalah ini. Menurutnya, keberadaan prajurit di luar barak bukanlah akar masalah. Khairul Fahmi menegaskan bahwa prajurit juga merupakan bagian dari masyarakat dan memiliki hak untuk berinteraksi sosial, memiliki keluarga, dan memenuhi kebutuhan rekreasi.
Implementasi Aturan dan Pembinaan Karakter
Khairul Fahmi menambahkan bahwa regulasi terkait izin keluar-masuk barak sebenarnya telah diatur secara rinci dalam Peraturan Urusan Dinas Dalam (PUDD) masing-masing matra TNI. Permasalahan utama, menurutnya, terletak pada implementasi aturan tersebut. Ia mempertanyakan apakah aturan dalam PUDD dijalankan secara konsisten, apakah pengawasan dari atasan efektif, dan apakah pembinaan karakter prajurit benar-benar menyentuh aspek mental, etika, dan tanggung jawab sosial.
Khairul Fahmi menekankan bahwa evaluasi SOP seharusnya tidak berfokus pada pembatasan mobilitas prajurit secara represif. Sebaliknya, evaluasi harus mendorong penguatan fungsi pengawasan, pembinaan, serta tanggung jawab dalam rantai komando. Ia juga mengingatkan bahwa mayoritas prajurit TNI tidak melanggar hukum, dan generalisasi justru berbahaya dan kontraproduktif terhadap moral pasukan. Evaluasi harus dilakukan secara adil, berbasis data, dan tidak menimbulkan stigma.
Penegakan Disiplin dan Etika
Lebih lanjut, Khairul Fahmi berpendapat bahwa yang dibutuhkan bukanlah larangan keluar barak, melainkan penegakan disiplin dan etika prajurit di mana pun mereka berada. Evaluasi SOP harus ditempatkan dalam kerangka memperkuat profesionalisme, bukan sekadar pembatasan yang berisiko melemahkan kohesi dan semangat korps.
Beberapa poin penting yang perlu ditekankan:
- Penguatan Pengawasan: Meningkatkan efektivitas pengawasan oleh komandan satuan terhadap aktivitas prajurit, baik di dalam maupun di luar barak.
- Pembinaan Karakter: Memperkuat program pembinaan karakter yang berfokus pada mental, etika, dan tanggung jawab sosial prajurit.
- Implementasi Aturan: Memastikan implementasi yang konsisten dan efektif dari peraturan yang ada, termasuk PUDD.
- Penegakan Disiplin: Menegakkan disiplin dan etika prajurit tanpa membatasi mobilitas secara berlebihan.
- Evaluasi Adil: Melakukan evaluasi secara adil, berbasis data, dan tidak menimbulkan stigma negatif terhadap seluruh prajurit.
Dengan fokus pada penguatan pengawasan, pembinaan karakter, dan penegakan disiplin, diharapkan kasus-kasus yang melibatkan oknum prajurit TNI dapat diminimalisir, dan profesionalisme TNI dapat terus ditingkatkan.