Ambisi Trump untuk Masa Jabatan Ketiga: Upaya Mengakali Konstitusi AS Picu Kontroversi
Ambisi Trump untuk Masa Jabatan Ketiga: Upaya Mengakali Konstitusi AS Picu Kontroversi
Wacana mengenai kemungkinan Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat untuk periode ketiga kembali mencuat, memicu perdebatan sengit mengenai interpretasi Konstitusi AS dan batasan kekuasaan seorang presiden. Trump sendiri secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak sedang bercanda mengenai ambisi tersebut, memicu kecaman dari Partai Demokrat dan keraguan dari sebagian anggota Partai Republik.
Konstitusi AS, melalui Amandemen ke-22, secara jelas membatasi masa jabatan presiden menjadi dua periode. Amandemen ini lahir sebagai respons terhadap masa jabatan empat periode Franklin Delano Roosevelt, yang mematahkan tradisi yang telah lama dipegang oleh para pendahulunya sejak George Washington. Namun, pendukung Trump berpendapat bahwa terdapat celah yang belum teruji dalam konstitusi yang dapat dimanfaatkan.
Celah Konstitusi yang Dipertanyakan
Argumen yang dilontarkan oleh pendukung Trump berfokus pada perbedaan antara "terpilih" dan "suksesi." Mereka mengklaim bahwa Amandemen ke-22 hanya melarang seseorang untuk "terpilih" lebih dari dua kali sebagai presiden, tetapi tidak mengatur mengenai "suksesi." Berdasarkan interpretasi ini, mereka mengusulkan beberapa skenario:
- Skenario Wakil Presiden: Trump dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden bagi kandidat lain pada tahun 2028. Jika pasangan tersebut menang, presiden terpilih akan mengundurkan diri, memungkinkan Trump untuk naik menjadi presiden.
- Amandemen Konstitusi: Anggota Partai Republik, Andy Ogles, bahkan telah mengajukan resolusi untuk menyerukan amandemen konstitusi yang memungkinkan seorang presiden menjabat hingga tiga masa jabatan, asalkan tidak berturut-turut. Usulan ini secara implisit menguntungkan Trump, mengingat ia telah menjabat, kalah, dan kemudian menang kembali.
Reaksi dan Penolakan
Wacana ini sontak menuai kecaman keras dari Partai Demokrat. Daniel Goldman, seorang anggota Kongres dari New York, menyebutnya sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dan menghancurkan demokrasi. Ia mendesak anggota Partai Republik untuk menentang ambisi Trump secara terbuka.
Bahkan di dalam Partai Republik sendiri, terdapat keraguan dan penolakan terhadap ide tersebut. Senator Markwayne Mullin dari Oklahoma menyatakan bahwa ia tidak akan mendukung upaya untuk mengubah konstitusi demi mengembalikan Trump ke Gedung Putih.
Pendapat Para Pakar Hukum
Para pakar hukum pun angkat bicara mengenai isu ini. Derek Muller, seorang profesor hukum pemilu di Universitas Notre Dame, berpendapat bahwa Amandemen ke-12 Konstitusi melarang seseorang yang tidak memenuhi syarat untuk jabatan presiden untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Ini berarti bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode secara otomatis terdiskualifikasi untuk menjadi calon wakil presiden.
Jeremy Paul, seorang profesor hukum tata negara di Universitas Northeastern Boston, menegaskan bahwa tidak ada argumen hukum yang kredibel untuk mendukung masa jabatan ketiga bagi Trump.
Preseden Franklin Delano Roosevelt
Satu-satunya presiden AS yang menjabat lebih dari dua periode adalah Franklin Delano Roosevelt, yang terpilih empat kali. Namun, pada masa itu, batasan dua masa jabatan belum dikodifikasi dalam undang-undang. Kepemimpinan Roosevelt yang diperpanjang selama Depresi Besar dan Perang Dunia Kedua menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya Amandemen ke-22.
Ambisi Trump untuk masa jabatan ketiga memicu perdebatan mendalam tentang interpretasi konstitusi, batasan kekuasaan presiden, dan masa depan demokrasi Amerika. Skenario-skenario yang diajukan oleh pendukung Trump, meskipun kontroversial, menyoroti kompleksitas dan potensi ambiguitas dalam sistem hukum AS. Pertanyaan apakah Trump akan benar-benar mencoba untuk mengakali konstitusi dan meraih kekuasaan kembali untuk ketiga kalinya masih menjadi misteri yang akan terus memicu perdebatan dan spekulasi di masa depan.