Studi Ungkap Risiko Penyakit Kronis ME/CFS Meningkat Signifikan Pasca-COVID-19

Studi Terbaru Soroti Peningkatan Risiko ME/CFS pada Penyintas COVID-19

Sebuah studi terbaru yang memanfaatkan data dari inisiatif penelitian long COVID yang didanai oleh US National Institutes of Health (NIH), mengungkapkan temuan yang mengkhawatirkan terkait potensi dampak jangka panjang infeksi COVID-19. Studi ini menemukan bahwa individu yang pernah terinfeksi COVID-19 memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk mengembangkan myalgic encephalomyelitis/chronic fatigue syndrome (ME/CFS), sebuah kondisi kronis yang melemahkan.

Penelitian ini menyoroti urgensi bagi para penyedia layanan kesehatan untuk lebih memahami dan mengenali ME/CFS pasca-COVID-19. ME/CFS seringkali muncul setelah infeksi virus, dan meskipun gejala COVID-19 yang dialami ringan, efek jangka panjang seperti kelelahan ekstrem, kabut otak, dan pusing dapat muncul kemudian.

ME/CFS dan Long COVID: Sebuah Keterkaitan yang Semakin Jelas

Konsep penyakit pasca-virus dan ME/CFS sebenarnya bukanlah hal baru. Namun, banyak pasien masih kesulitan untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat. Stigma, kesalahpahaman, dan informasi medis yang tidak konsisten seringkali menjadi penghalang. Penelitian ini muncul di tengah meningkatnya perhatian terhadap long COVID, dan bertujuan untuk meneliti lebih lanjut potensi hubungan antara infeksi SARS-CoV-2 dan perkembangan ME/CFS.

Para peneliti menganalisis data dari RECOVER Initiative, sebuah proyek ambisius yang didanai oleh NIH dan dirancang untuk menjadi studi paling komprehensif dan beragam di dunia tentang long COVID. Analisis ini melibatkan 11.785 peserta yang memiliki riwayat infeksi SARS-CoV-2 dan 1.439 peserta yang belum pernah terinfeksi.

Tim peneliti kemudian mengevaluasi berapa banyak peserta yang memenuhi kriteria diagnostik untuk ME/CFS setidaknya enam bulan setelah infeksi COVID-19. Penting untuk dicatat bahwa kriteria ini didasarkan pada pelaporan gejala subjektif oleh peserta, yang merupakan salah satu keterbatasan studi.

Temuan Kunci dan Implikasinya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ME/CFS ditemukan pada 4,5% peserta yang pernah terinfeksi COVID-19, dibandingkan dengan hanya 0,6% pada kelompok yang tidak terinfeksi. Lebih lanjut, hampir 90% dari mereka yang memenuhi kriteria ME/CFS juga termasuk dalam kelompok pasien long COVID dengan gejala yang paling parah, sehingga memperkuat hubungan antara kedua kondisi tersebut.

Institut Nasional Gangguan Neurologis dan Stroke menyatakan bahwa temuan ini memberikan bukti tambahan bahwa infeksi, termasuk yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, dapat memicu ME/CFS. Gejala yang paling sering dilaporkan oleh kelompok ini meliputi:

  • Malaise pasca-olahraga (kelelahan ekstrem setelah aktivitas fisik)
  • Intoleransi ortostatik (pusing saat berdiri)
  • Gangguan kognitif

Gejala-gejala ini juga umum dialami oleh banyak pasien long COVID, yang semakin menggarisbawahi tumpang tindih antara kedua kondisi tersebut.

Langkah Selanjutnya: Penelitian Lebih Lanjut dan Peningkatan Kesadaran

Para peneliti menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami mengapa COVID-19 dapat memicu penyakit kronis pada beberapa orang, serta mengidentifikasi faktor risiko yang membuat individu tertentu lebih rentan. Pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme yang mendasari hubungan ini sangat penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pengobatan yang efektif.

"Penelitian ini menegaskan pentingnya bagi tenaga medis untuk mengenali ME/CFS pasca-COVID-19. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat dapat mengubah kehidupan pasien," kata Dr. Suzanne D. Vernon. Peningkatan kesadaran di kalangan penyedia layanan kesehatan dan masyarakat umum tentang potensi risiko ME/CFS pasca-COVID-19 sangat penting untuk memastikan bahwa pasien menerima perawatan yang mereka butuhkan.