Jejak Eropa di Balik Kue-Kue Kering Lebaran: Akulturasi Rasa dalam Tradisi Indonesia
Lebaran di Indonesia tak lengkap rasanya tanpa kehadiran kue-kue kering yang menghiasi meja ruang tamu. Nastar, kastengel, putri salju, lidah kucing, dan semprit adalah beberapa di antaranya. Namun, tahukah Anda bahwa sebagian dari kue-kue ikonik ini ternyata bukan asli Indonesia, melainkan hasil dari akulturasi budaya dengan Eropa? Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia di masa lampau tidak hanya meninggalkan jejak sejarah, tetapi juga warisan kuliner yang berpadu harmonis dengan tradisi lokal. Mari kita telusuri lebih dalam asal-usul kue-kue kering lebaran yang kaya akan cerita ini.
Nastar: Dari Ananas Koekjes hingga Ikon Lebaran
Sejarawan Fadly Rahman menjelaskan bahwa tradisi membuat kue kering di Indonesia bermula pada masa kolonial Belanda. Orang Belanda gemar membuat kue kering dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal yang tersedia. Salah satu kue yang populer adalah ananas koekjes, kue kering berisi selai nanas. Di Belanda sendiri, kue serupa biasanya diisi dengan selai blueberry atau apel. Ketika ananas koekjes diperkenalkan di Indonesia, kue ini dengan cepat populer di kalangan masyarakat dan kemudian dikenal dengan nama nastar. Hingga kini, nastar tetap menjadi salah satu kue kering yang paling digemari dan selalu hadir sebagai suguhan wajib saat Lebaran.
Kastengel: Batang Keju dari Negeri Kincir Angin
Nama 'kastengel' jelas terdengar asing di telinga orang Indonesia. Kue ini juga memiliki akar yang kuat dalam budaya kuliner Belanda. Kaastengel atau kastengel sendiri berarti 'batang keju'. Kue ini berasal dari kue kering Belanda yang dibuat dengan bahan dasar keju Edam atau Gouda. Namun, karena sulitnya menemukan jenis keju yang sama di Indonesia, resep kastengel kemudian dimodifikasi dengan menggunakan keju lokal yang lebih mudah didapatkan. Meskipun demikian, esensi rasa keju yang gurih tetap menjadi ciri khas kastengel hingga saat ini.
Lidah Kucing: Sentuhan Eropa yang Renyah
Kue lidah kucing juga merupakan salah satu kue kering yang dipengaruhi oleh budaya Belanda. Dahulu, kue ini dikenal dengan sebutan katte tong, yang berarti 'lidah kucing' dalam bahasa Belanda. Bentuknya yang pipih, oval, dan memanjang menyerupai lidah kucing yang sedang menjulur. Kue ini terbuat dari campuran telur yang dikocok mengembang, gula halus, dan tepung terigu. Ternyata, kue lidah kucing sudah lebih dulu populer di Eropa, terutama di negara-negara seperti Prancis, Italia, dan Spanyol. Meskipun memiliki nama yang berbeda-beda di setiap negara, namun maknanya tetap sama, yaitu 'Lidah Kucing'.
Putri Salju: Kisah Panjang dari Eropa ke Indonesia
Putri Salju memiliki jejak perjalanan yang panjang melintasi benua. Kue ini berasal dari Austria dan Jerman, di mana dikenal dengan nama vanillekipferl. Di Spanyol, kue ini disebut polvorones. Pada awal abad ke-18, kue putri salju mulai dibuat di Kentucky, Amerika Serikat, dan kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya. Ketika tiba di Indonesia, resep kue putri salju mengalami beberapa penyesuaian agar sesuai dengan bahan-bahan yang tersedia. Salah satunya adalah penggunaan kacang mete yang dicampur atau diganti dengan kacang tanah yang dihaluskan ke dalam adonan.
Kue Semprit: Disemprotkan dari Jerman untuk Lebaran
Kue semprit atau spritz butter cookies adalah salah satu kue kering yang populer di Indonesia, mulai dari produksi rumahan hingga merek-merek besar. Kue ini ternyata berasal dari budaya kuliner Jerman. Di negara asalnya, kue ini memiliki nama Spritzgeback, yang berarti 'disemprotkan'. Nama ini merujuk pada proses pencetakan kue yang dilakukan dengan cara menyemprotkan adonan langsung ke atas loyang dalam berbagai bentuk yang diinginkan, kemudian dipanggang hingga matang. Bahan-bahan yang mudah didapatkan dan proses pembuatannya yang sederhana menjadikan kue semprit populer sebagai pilihan untuk usaha toko kue, termasuk sebagai suguhan kue lebaran.
Kue-kue kering lebaran yang kita nikmati setiap tahunnya ternyata menyimpan cerita panjang tentang akulturasi budaya antara Eropa dan Indonesia. Warisan kuliner ini tidak hanya memperkaya khazanah kuliner Indonesia, tetapi juga menjadi simbol persahabatan dan pertukaran budaya yang telah terjalin selama berabad-abad.