Korupsi Proyek Sentra Industri Hasil Tembakau Kudus: Empat Tersangka Ditahan, Negara Rugi Miliaran Rupiah

Korupsi Proyek Sentra Industri Hasil Tembakau Kudus: Empat Tersangka Ditahan, Negara Rugi Miliaran Rupiah

Kejaksaan Negeri Kudus, Jawa Tengah, telah menetapkan empat tersangka dalam kasus korupsi pembangunan Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) di Kecamatan Jekulo. Kasus ini mengakibatkan kerugian negara yang signifikan, mencapai Rp 5,29 miliar. Penetapan tersangka terbaru, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kudus, RKHA, dan seorang kontraktor, SK, menambah daftar tersangka yang sebelumnya telah ditetapkan, yakni HY (konsultan perencana proyek) dan AAP (pemenang e-katalog proyek). Keempat tersangka kini telah ditahan di Rutan Kelas II B Kudus selama 20 hari ke depan, terhitung sejak 4 Maret 2025.

Modus korupsi yang terungkap melibatkan pembengkakan anggaran dan penyimpangan kontrak kerja dalam proyek pengurukan tanah untuk tempat produksi rokok. Investasi awal proyek SIHT, yang dimulai pada tahun 2023, mencapai Rp 21 miliar, dialokasikan untuk pembangunan pagar keliling, talud & drainase, dan pengurukan tanah. Pada tahun 2024, anggaran tambahan sebesar Rp 11,3 miliar dikucurkan untuk pembangunan empat unit gudang produksi rokok, satu hanggar untuk Bea Cukai, IPAL, dan sumur. Namun, proyek yang bertujuan untuk memajukan industri tembakau di Kudus ini justru tercemar oleh tindakan korupsi yang merugikan negara.

Berikut rincian peran masing-masing tersangka dalam skema korupsi tersebut:

  • HY (Konsultan Perencana Proyek): Diduga merancang pembengkakan anggaran proyek.
  • AAP (Pemenang E-Katalog Proyek): Diduga melakukan kerja sama ulang dengan pihak lain dengan harga yang tidak sesuai kontrak, menunjukkan adanya manipulasi proses pengadaan barang dan jasa.
  • RKHA (Kepala Disnaker & Pejabat Pembuat Komitmen/PPK): Diduga lalai dalam menjalankan tugas sesuai Perpres dan aturan LKPP tentang pengadaan barang dan jasa. Sebagai PPK, RKHA bertanggung jawab atas pengawasan dan pengelolaan anggaran proyek, namun diduga gagal mencegah terjadinya penyimpangan.
  • SK (Pemborong Proyek): Diduga menerima dan memborongkan pekerjaan dengan hasil yang tidak sesuai spesifikasi dan kontrak, menunjukkan adanya unsur kesengajaan dalam melakukan pelanggaran.

Paket pekerjaan pengurukan tanah, dengan volume 43.223 meter persegi, dilakukan melalui mekanisme e-katalog dengan nilai kontrak Rp 9,16 miliar dan harga satuan tanah Rp 212 ribu per kubik. Penyimpangan dalam proyek ini telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 5,29 miliar. Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Kejaksaan Negeri Kudus menegaskan akan terus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dan bertanggung jawab atas kerugian negara yang terjadi dalam proyek ini.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengelolaan anggaran proyek pemerintah, khususnya dalam proyek-proyek berskala besar yang melibatkan banyak pihak. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dan memastikan penggunaan dana negara secara efektif dan efisien untuk kepentingan masyarakat.