Kebangkitan Perfilman Nasional: Dominasi Lokal dan Tantangan Global
Kebangkitan Perfilman Nasional: Dominasi Lokal dan Tantangan Global
Tahun 2024 menjadi saksi kebangkitan industri perfilman Indonesia, ditandai dengan jumlah film layar lebar nasional yang melampaui film impor. Sebanyak 285 film nasional membanjiri bioskop, mengungguli 255 film impor. Meskipun genre horor seringkali menjadi sorotan kritik, data dari Lembaga Sensor Film (LSF) menunjukkan bahwa drama mendominasi dengan 141 judul (49,5%), diikuti oleh horor dengan 87 judul (30,5%). Fenomena ini mengindikasikan preferensi kuat masyarakat terhadap film lokal, dengan 67% penonton memilih karya sineas Indonesia.
Menteri Kebudayaan mencatat rekor baru dengan 81 juta penonton bioskop sepanjang tahun 2024. Proyeksi pertumbuhan industri perfilman mencapai 6,13% pada tahun 2027, dengan kontribusi signifikan sebesar Rp 156 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Tren positif ini juga tercermin pada program televisi, di mana konten nasional mendominasi data sensor LSF (54,29%) dibandingkan program impor (45,71%). Bahkan, data We Are Social Digital Indonesia 2025 menunjukkan film kreasi nasional sebagai tontonan terpopuler di platform streaming seperti Netflix dan Amazon. Hal ini membuktikan bahwa film Indonesia berhasil menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri.
Proksimitas dan Daya Tarik Lokal
Keberhasilan ini didukung oleh asas proksimitas, di mana kedekatan dengan budaya dan identitas lokal menjadi daya tarik utama bagi penonton. Film horor, misalnya, memanfaatkan bintang film lokal, lokasi syuting yang familiar, dan cerita yang berakar pada kisah atau budaya setempat. Karakter makhluk supranatural yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri.
Pengelola bioskop mengakui bahwa film Indonesia lebih diminati, terutama di wilayah sekitar perkotaan. Masyarakat di luar kota besar juga cenderung memilih film nasional saat mengunjungi bioskop.
Distribusi dan Sensor
Proses sensor film di Indonesia dilakukan melalui bioskop, televisi, dan jaringan informatika. Data LSF menunjukkan bahwa televisi free-to-air masih menjadi platform distribusi terbesar. Namun, distribusi film melalui perangkat seluler menjadi semakin penting untuk menjangkau generasi muda, mengingat dominasi penggunaan gawai dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan Era Digital
Era digital menghadirkan tantangan baru bagi industri perfilman. Film dengan berbagai genre, bahkan tanpa sensor, dapat dengan mudah beredar melalui platform streaming berbayar atau media sosial. Pembajakan film juga menjadi masalah yang sulit diberantas, dengan penyedia konten ilegal yang terus bermunculan karena adanya permintaan dan nilai ekonomi yang tinggi.
Namun, platform digital yang diprediksi akan mengganggu eksistensi bioskop, ternyata tidak sepenuhnya terjadi di Indonesia. Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) melaporkan bahwa bioskop terus bertumbuh seiring dengan perkembangan ekonomi daerah. Jaringan bioskop baru seperti Sam Studio bahkan telah membangun lebih dari 17 bioskop di kota-kota kecil di Pulau Jawa. Bioskop dan platform digital dapat saling melengkapi, memberikan pilihan yang lebih beragam kepada masyarakat.
Tantangan terbesar saat ini adalah keluhan masyarakat tentang konten yang terlalu "bebas" di platform digital, karena regulasinya masih belum jelas. Pengelola televisi free-to-air juga mengeluhkan ketidakadilan dalam regulasi antara stasiun televisi dan platform digital.
Menuju Pasar Global
Setelah berhasil menjadi "tuan rumah", pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana film Indonesia dapat menjadi "tamu terhormat" di negara lain? Prestasi film Indonesia di festival film internasional menunjukkan potensi besar untuk bersaing di kancah global. Aktor Indonesia seperti Iko Uwais dan Joe Taslim juga telah membuktikan kemampuan mereka di film-film Hollywood. Lokasi syuting di Indonesia juga menarik minat pembuat film asing, meskipun masih ada tantangan terkait perizinan.
Film "Woman from Rote Island", yang diajukan untuk nominasi Best International Feature Film di Piala Oscar 2025, menghadapi kendala dalam memenuhi persyaratan nominasi, seperti penayangan di bioskop Amerika Serikat. Hal ini menyoroti pentingnya perencanaan, strategi yang matang, dan kolaborasi antara seluruh stakeholder perfilman.
Dukungan Pemerintah dan Diplomasi Budaya
Urusan perfilman telah menjadi fokus perhatian pemerintah selama satu dekade terakhir, dengan dua kementerian baru (Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif) yang diharapkan dapat memajukan industri ini. Dampak film dapat menjadi modal budaya untuk menunjang ekonomi negara, seperti yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Popularitas budaya Korea (Korean Wave) telah terbukti mempengaruhi selera masyarakat terhadap produk dan jasa Korea, serta meningkatkan citra negara tersebut. Thailand juga telah menunjukkan potensinya melalui film "How to Make Millions Before Grandma Die", yang sukses di berbagai negara.
Langkah ke Depan
Kemajuan perfilman Indonesia di masa depan harus diukur tidak hanya dari jumlah penonton dan produktivitas film, tetapi juga dari kemampuan untuk bersaing di pasar global. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah serius melalui kebijakan dan program yang terukur, inovatif, dan berdasarkan evaluasi efektivitas anggaran. Melibatkan ahli dari negara lain juga dapat menjadi strategi yang efektif.
Dengan demikian, film dapat menjadi wahana diplomasi seni budaya sekaligus produk bernilai ekonomi bagi devisa negara. Semangat dan optimisme keberhasilan film nasional sebagai "tuan rumah" harus mendorong langkah terpadu untuk mewujudkan visi tersebut. Selamat Hari Film Nasional!
Ervan Ismail Ketua Komisi II Lembaga Sensor Film