Misophonia: Mengapa Suara Tertentu Memicu Reaksi Emosional Kuat?
Misophonia: Mengapa Suara Tertentu Memicu Reaksi Emosional Kuat?
Bagi sebagian orang, suara menyeruput kopi di pagi hari mungkin menjadi bagian dari rutinitas yang menenangkan. Namun, bagi individu yang mengalami misophonia, suara-suara seperti itu dapat memicu reaksi emosional yang kuat, mulai dari iritasi ringan hingga kemarahan dan kecemasan yang melumpuhkan. Misophonia, secara harfiah berarti 'kebencian terhadap suara', adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan respons negatif terhadap suara-suara tertentu, yang seringkali berulang atau repetitif. Kondisi ini memengaruhi cara otak memproses suara, menghasilkan respons emosional dan fisik yang intens.
Dr. Sarah Anderson, seorang spesialis terapi okupasi, menjelaskan bahwa misophonia adalah respons sistem saraf yang kuat dan seringkali tidak disengaja terhadap suara-suara tertentu seperti mengunyah, mengetuk, meneteskan air, atau bernapas. Suara-suara ini dapat menciptakan reaksi emosional dan fisik yang intens, seperti kecemasan, kemarahan, atau respons melawan atau menghindar. Misophonia dapat berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari seseorang.
Gejala dan Pemicu Misophonia
Gejala misophonia bervariasi dari orang ke orang, tetapi umumnya meliputi:
- Iritasi dan kemarahan yang intens
- Kecemasan dan panik
- Kebutuhan untuk menjauh dari sumber suara
- Perasaan tidak berdaya dan di luar kendali
- Reaksi fisik seperti peningkatan detak jantung, berkeringat, dan tegang otot
Pemicu misophonia juga sangat individual, tetapi beberapa yang paling umum termasuk:
- Suara makan (mengunyah, menyeruput, menelan)
- Suara hidung (bersin, batuk, mendengkur)
- Suara keyboard atau mengetik
- Suara repetitif (mengetuk kaki, menggoyangkan pena)
Pengobatan dan Manajemen Misophonia
Meskipun misophonia belum diakui secara resmi sebagai gangguan mental dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM), para ahli sepakat bahwa kondisi ini nyata dan dapat diobati. Beberapa strategi pengobatan dan manajemen yang efektif meliputi:
- Terapi Suara: Audiolog klinis dapat mengembangkan program terapi suara yang dipersonalisasi untuk membantu individu mengurangi sensitivitas mereka terhadap suara pemicu.
- Terapi Perilaku Kognitif (CBT): Psikolog dapat menggunakan CBT untuk membantu pasien mengelola respons emosional mereka terhadap suara pemicu dan mengembangkan mekanisme koping yang sehat.
- Teknik Relaksasi: Latihan pernapasan dalam, meditasi, dan teknik relaksasi lainnya dapat membantu menenangkan sistem saraf dan mengurangi kecemasan.
- Strategi Penghindaran: Menggunakan headphone, mendengarkan musik latar, atau menjauh dari lingkungan yang bising dapat membantu menghindari paparan suara pemicu.
Carly Costello, seorang terapis sekaligus pengidap misophonia mengatakan suara-suara yang mengganggunya dapat menyebabkan reaksi besar, antara melawan atau menghindar. Bagi seseorang dengan misophonia, rasanya seperti berada di luar kendali mereka. Penting untuk diingat bahwa misophonia adalah kondisi yang nyata dan dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup seseorang. Dengan pengobatan dan dukungan yang tepat, individu dengan misophonia dapat belajar mengelola gejala mereka dan menjalani kehidupan yang lebih memuaskan. Anderson juga menekankan pentingnya memberi tahu teman dekat dan keluarga jika mengalami kondisi misophonia. Ini semua tentang menemukan cara untuk mengatur sistem saraf, sambil tetap terhubung dengan orang-orang dan pengalaman yang penting.
Dalam studi yang diterbitkan tahun 2022 di jurnal "Frontiers in Neuroscience", peneliti menyepakati misophonia cocok dideskripsikan sebagai "gangguan" dari pada "kondisi" atau "sindrom". Studi tersebut menyimpulkan bahwa "Misophonia adalah gangguan berupa penurunan toleransi terhadap bunyi tertentu atau rangsangan terkaitnya yang telah dikarakterisasi menggunakan bahasa dan metodologi yang berbeda."