Salat Id di Lapangan: Jejak Sejarah dan Peran Muhammadiyah di Era Kolonial

Salat Id di Ruang Terbuka: Sejarah dan Inisiasi Muhammadiyah pada Masa Kolonial

Pelaksanaan salat Idul Fitri di lapangan terbuka telah menjadi tradisi yang melekat dalam praktik keagamaan umat Islam di Indonesia. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah tradisi ini bermula, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda? Sebuah fakta menarik terungkap bahwa pemerintah Hindia Belanda kala itu tidak melarang pelaksanaan salat Idul Fitri, bahkan mengizinkan pelaksanaannya di ruang terbuka dengan penggunaan pengeras suara. Pemerintah kolonial Belanda juga menyediakan transportasi tambahan untuk memudahkan masyarakat dalam menjangkau lokasi salat Id. Salah satu contoh pelaksanaan salat Id yang terdokumentasi dengan baik adalah yang diselenggarakan di Waterlooplein, yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Pelaksanaan shalat Id di lapangan terbuka sudah dilakukan sebanyak 12 kali pada tahun 1939.

Media pada masa itu turut memberitakan persiapan dan pelaksanaan salat Id di Waterlooplein. Panitia penyelenggara terdiri dari perwakilan 14 organisasi massa yang didukung oleh berbagai pihak. Trem tambahan dari Meester Cornelis (Jatinegara) dan Benedenstad (Kota Tua) dikerahkan untuk mengangkut jamaah menuju Waterlooplein. Pada pelaksanaan salat Id tersebut, Hadji Mochtar, seorang mantan anggota Muhammadiyah, bertindak sebagai khatib, sementara Hadji Mohammad Isa, Ketua Hof voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama Islam), bertugas sebagai imam.

Muhammadiyah: Pelopor Salat Id di Lapangan

Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, memiliki peran penting dalam mempopulerkan pelaksanaan salat Id di lapangan. Organisasi ini memandang bahwa salat di lapangan dapat menjangkau jamaah yang lebih luas dibandingkan dengan pelaksanaan di masjid atau langgar. Selain itu, syiar agama dinilai lebih efektif dan dapat menjangkau daerah yang lebih luas. Efek psikologis yang ditimbulkan dari salat Id di lapangan juga dirasakan lebih besar.

Muhammadiyah pertama kali menyelenggarakan salat Id di lapangan Kota Yogyakarta pada Idul Fitri 1342 Hijriah (1925 Masehi) dengan dihadiri sekitar 5.000 jamaah. Pada tahun yang sama, Muhammadiyah juga mengadakan salat Idul Adha. Inisiatif Muhammadiyah ini sempat menuai kontroversi dan ditentang oleh kelompok konservatif serta pemerintah Hindia Belanda, yang menilai kegiatan tersebut dapat mengganggu ketertiban. Akan tetapi, semangat Muhammadiyah tidak surut.

Pada kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya pada tahun 1926, diputuskan bahwa seluruh cabang Muhammadiyah diwajibkan untuk menyelenggarakan salat Id di lapangan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pelaksanaan salat Id di lapangan harus memperoleh izin dari kepolisian. Peraturan ini kemudian menjadi kendala, karena seringkali pelaksanaan salat Id di lapangan dihalang-halangi atau dibubarkan karena belum memperoleh izin atau tidak mengajukan izin. Akibatnya, banyak pengurus Muhammadiyah yang ditahan atau dimintai keterangan oleh polisi.

Akhirnya, pada kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta pada tahun 1934, diputuskan bahwa setiap cabang yang akan melaksanakan salat Id di lapangan tidak perlu lagi meminta izin kepada polisi, tetapi cukup memberikan pemberitahuan. Jika tetap dipaksa untuk meminta izin, maka permintaan izin cukup diajukan satu kali untuk selamanya dan berlaku untuk seluruh Indonesia. Perjuangan Muhammadiyah dalam mempopulerkan salat Id di lapangan merupakan bagian dari sejarah panjang organisasi ini dalam melakukan pembaruan dan modernisasi praktik keagamaan di Indonesia.