Muhammadiyah Dorong Efisiensi: Usulan Peninjauan Kembali Pelaksanaan Sidang Isbat di Musim Penghujan
Muhammadiyah Dorong Efisiensi: Usulan Peninjauan Kembali Pelaksanaan Sidang Isbat di Musim Penghujan
Jakarta - Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, mengusulkan agar pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) mempertimbangkan kembali pelaksanaan sidang isbat, khususnya saat memasuki bulan Ramadhan dan Syawal yang bertepatan dengan musim penghujan.
Usulan ini disampaikan oleh perwakilan Muhammadiyah, Sriyatin Sodhiq, dengan alasan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan sidang. Menurutnya, kondisi cuaca yang cenderung mendung selama musim hujan dapat menghambat proses rukyatul hilal, yang menjadi salah satu metode penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah.
"Pertimbangan kami adalah efisiensi," ujar Sriyatin dalam sebuah seminar yang membahas tentang sidang isbat di Kantor Kementerian Agama. "Dalam rentang waktu 9-10 tahun ke depan, awal Ramadhan dan Syawal akan terjadi di bulan Desember, Januari, dan Februari, di mana kondisi langit cenderung berawan atau mendung."
Diskresi Menteri Agama di Masa Lalu
Sriyatin menyoroti bahwa sebelumnya telah ada beberapa Menteri Agama yang mengambil diskresi untuk tidak menggelar sidang isbat. Keputusan ini didasarkan pada perhitungan astronomi (hisab) yang menunjukkan bahwa posisi hilal berada di bawah ufuk, sehingga secara teoritis tidak mungkin terlihat.
Salah satu contoh yang disebutkan adalah keputusan Menteri Agama saat itu, Kyai Saifuddin, yang memutuskan untuk tidak menggelar sidang isbat karena hasil perhitungan hisab yang jelas. Penentuan 1 Syawal kemudian dilakukan dengan meminta pertimbangan para ulama berdasarkan data hisab yang ada. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Menteri Agama Mukti Ali dengan alasan yang sama.
"Ketika posisi hilal di bawah ufuk, tidak perlu disidang, ditetapkan saja," tegasnya.
Usulan untuk Bulan Zulhijah
Sriyatin juga menyinggung mengenai penetapan awal bulan Zulhijah. Menurutnya, tradisi sidang isbat untuk menentukan awal Zulhijah baru dimulai pada tahun 2001. Sebelumnya, penentuan bulan ini dilakukan tanpa melalui sidang isbat. Tradisi ini dimulai pada masa kepemimpinan Menteri Agama Muhammad Tholchah Hasan. Oleh karena itu, Muhammadiyah juga mengusulkan agar sidang isbat tidak diperlukan dalam penentuan bulan Zulhijah.
"Itu usulan kami dalam rangka efisiensi. Ada lima menteri yang membuat diskresi penetapan tanpa sidang seperti ini," jelas Sriyatin.
Implikasi dan Pertimbangan Lebih Lanjut
Usulan Muhammadiyah ini tentu memerlukan kajian dan pertimbangan lebih lanjut dari berbagai pihak, termasuk Kemenag, ormas-ormas Islam lainnya, dan para ahli astronomi. Penerapan usulan ini dapat membawa perubahan signifikan dalam mekanisme penetapan awal bulan dalam kalender Hijriyah di Indonesia.
Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan antara lain:
- Validitas Hisab: Penting untuk memastikan bahwa metode hisab yang digunakan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Kepastian Hukum: Perlu ada landasan hukum yang jelas mengenai diskresi Menteri Agama dalam menentukan awal bulan tanpa melalui sidang isbat.
- Keterbukaan dan Akuntabilitas: Proses pengambilan keputusan harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel, dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, diharapkan penetapan awal bulan dalam kalender Hijriyah dapat dilakukan secara efisien, efektif, dan tetap memenuhi prinsip-prinsip syariah.