Disparitas Ekonomi India: Kemakmuran Elite di Tengah Kesulitan Rakyat Banyak
Disparitas Ekonomi India: Kemakmuran Elite di Tengah Kesulitan Rakyat Banyak
India, dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa, tengah menghadapi dilema ekonomi yang semakin menganga. Meskipun pertumbuhan ekonomi terlihat menjanjikan, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang tajam antara kemakmuran kelas atas dan kesulitan yang dialami sebagian besar penduduk. Laporan dari Blume Ventures, sebuah perusahaan modal ventura, mengungkap fakta mengejutkan: hanya sekitar 130-140 juta orang, setara dengan populasi Meksiko, yang masuk dalam kategori kelas konsumen sejati. Artinya, sekitar satu miliar penduduk masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, membatasi daya beli mereka di luar kebutuhan esensial.
Data dari BBC memperkuat gambaran ini. Sekitar 300 juta orang dikategorikan sebagai konsumen baru atau calon konsumen, yang menunjukkan potensi pertumbuhan. Namun, potensi ini terhambat oleh peningkatan daya beli yang cenderung vertikal, bukan horizontal. Artinya, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang sudah kaya, sementara kelompok menengah dan bawah mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Ini tercermin dari tren konsumsi yang bergeser ke produk premium. Penjualan rumah mewah dan ponsel kelas atas melonjak, sementara segmen pasar yang terjangkau justru mengalami penurunan signifikan. Hunian terjangkau, misalnya, hanya menyumbang 18 persen dari pasar properti, turun drastis dari 40 persen lima tahun lalu. Kehadiran merek-merek ternama semakin mendominasi pasar, sementara industri ekonomi pengalaman, seperti konser musik Coldplay dan Ed Sheeran yang tiketnya terjual habis, menunjukkan kekuatan daya beli segmen teratas.
Kesenjangan yang Semakin Melebar
Laporan Blume Ventures menggambarkan pemulihan ekonomi pascapandemi sebagai bentuk huruf "K", dengan satu sisi yang menanjak tajam (orang kaya semakin kaya) dan sisi lainnya yang tertinggal jauh (kelompok menengah dan bawah semakin terhimpit). Tren ini bukanlah fenomena baru. Pada tahun 1990, 10 persen penduduk terkaya menguasai 34 persen pendapatan nasional. Kini, proporsi tersebut meningkat drastis menjadi 57,7 persen. Sebaliknya, separuh penduduk termiskin mengalami penurunan pangsa pendapatan dari 22,2 persen menjadi hanya 15 persen. Stagnasi upah, peningkatan utang rumah tangga, dan penurunan tingkat tabungan menjadi faktor utama penyebab ketimpangan ini. Bank Sentral India (RBI) mencatat bahwa tabungan finansial rumah tangga berada di titik terendah dalam 50 tahun terakhir. Pemerintah yang memperketat aturan pinjaman tanpa jaminan semakin menekan daya beli kelas menengah bawah yang selama ini bergantung pada skema pembiayaan tersebut.
Tantangan Ekonomi Jangka Pendek dan Panjang
Meskipun konsumsi melambat, beberapa faktor dapat menopang ekonomi India dalam jangka pendek. Panen yang baik di pedesaan diharapkan dapat meningkatkan permintaan domestik. Selain itu, pemotongan pajak senilai 12 miliar dolar AS (sekitar Rp 187 triliun) dalam anggaran terbaru diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen. Namun, tantangan jangka panjang tetap signifikan. Upah riil stagnan selama satu dekade terakhir telah melemahkan daya beli masyarakat. Laporan Marcellus Investment Managers menunjukkan bahwa 50 persen penduduk pembayar pajak mengalami stagnasi pendapatan riil, artinya penghasilan mereka berkurang setelah disesuaikan dengan inflasi. Prospek pekerjaan juga suram, khususnya untuk pekerjaan kerah putih di perkotaan akibat otomatisasi dan kecerdasan buatan. Pekerja di sektor jasa bernilai tambah rendah menjadi kelompok paling rentan, seperti yang disoroti oleh survei ekonomi pemerintah India.
Sebagai negara yang didorong oleh konsumsi, melemahnya daya beli masyarakat ini merupakan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi India. Jika tren ini terus berlanjut, India berisiko melenceng dari jalur pertumbuhan ekonomi yang telah direncanakan, memperparah ketidaksetaraan dan memicu ketidakstabilan sosial yang lebih luas.