Pemegang Saham PT LAM Didakwa Lakukan Pencucian Uang dari Penambangan Nikel Ilegal di Sulawesi Tenggara
Pemegang Saham PT LAM Didakwa Cuci Uang dari Tambang Nikel Ilegal
Sidang tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Windu Aji Sutanto, pemegang saham PT Lawu Agung Mining (PT LAM), telah memasuki babak baru di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu, 5 Maret 2025. Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Windu atas tuduhan melakukan pencucian uang yang terkait dengan aktivitas penambangan ore nikel ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dakwaan tersebut menyebutkan Windu terlibat dalam skema pencucian uang bersama-sama dengan Glenn Ario Sudarto, pelaksana lapangan PT LAM. JPU menegaskan bahwa Windu mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa kekayaannya berasal dari hasil tindak pidana korupsi berupa penjualan ore nikel yang secara ilegal diambil dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Antam.
Dakwaan tersebut merinci bagaimana PT LAM, yang didirikan oleh Glenn Ario Sudarto dan Tan Lie Pin pada Januari 2020, beroperasi di bawah Kerja Sama Operasi (KSO) Mandiodo-Tapunggaya-Tapumea. Namun, alih-alih menyerahkan hasil tambang kepada PT Antam sesuai perjanjian, PT LAM, di bawah arahan Glenn, melakukan penjualan ore nikel secara ilegal kepada pihak lain. Untuk mengaburkan jejak, Glenn diduga membeli dokumen perizinan tambang fiktif dari PT Kabaena Kromit Pratama (PT KKP) dan PT Tristaco Mineral Makmur (PT TMM), sehingga seolah-olah ore nikel yang ditambang berasal dari wilayah pertambangan yang sah. Praktik ini memungkinkan penjualan ore nikel tersebut ke pasar dengan harga mencapai Rp 135,8 miliar. Dana hasil penjualan ilegal tersebut sengaja diarahkan ke rekening milik Supriono dan Opah Erlangga Pratama, bukan ke rekening resmi PT LAM, lalu kemudian baru sebagian ditransfer ke PT LAM.
Lebih lanjut, dakwaan tersebut menjelaskan peran Windu dalam menerima aliran dana hasil kejahatan tersebut. Windu, yang memiliki 95% saham PT LAM melalui PT Khara Nusa Investama, diduga menggunakan sebagian besar uang tersebut untuk kepentingan pribadi. Bukti yang diajukan JPU termasuk pembelian sejumlah kendaraan mewah, seperti Toyota Land Cruiser, Mercedes Benz Maybach GLS 600, dan Toyota Alphard, yang terdaftar atas nama PT LAM. Selain itu, Windu juga menerima transfer sejumlah Rp 1,7 miliar dari rekening PT LAM. Aksi ini, menurut JPU, merupakan upaya untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal usul uang hasil kejahatan tersebut.
JPU mendakwa Windu Aji Sutanto melanggar Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Glenn Ario Sudarto didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Proses persidangan selanjutnya akan menentukan nasib Windu dan Glenn dalam kasus pencucian uang yang terkait dengan penambangan ilegal nikel ini. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap kegiatan pertambangan untuk mencegah praktik-praktik korupsi dan pencucian uang.
Detail tambahan yang diungkap dalam persidangan:
- Glenn terlibat kontrak kerja sama dengan 38 perusahaan dan beberapa perusahaan lain tanpa kerja sama resmi. Akses penambangan dikontrol oleh Glenn.
- Tan Lie Pin, komisaris PT LAM, diduga terlibat dalam pembukaan rekening atas nama orang lain untuk penampungan uang hasil penjualan ore nikel.
- Supriono dan Opah Erlangga Pratama, office boy PT LAM, digunakan untuk membuka rekening atas permintaan Tan Lie Pin.
- Sebagian besar uang dari hasil penjualan ore nikel diduga ditarik tunai sebelum ditransfer ke rekening PT LAM.