Dilema Energi China: Agresivitas Hijau Berdampingan dengan Dominasi Batu Bara
Dilema Energi China: Agresivitas Hijau Berdampingan dengan Dominasi Batu Bara
Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, Tiongkok, tengah menghadapi dilema yang kompleks dalam upayanya mencapai target lingkungan. Di satu sisi, pemerintah menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan energi terbarukan dan pengurangan emisi karbon, dengan rencana ambisius untuk mencapai puncak emisi sebelum 2030 dan netralitas karbon pada 2060. Hal ini diwujudkan melalui rencana ekspansi energi terbarukan yang signifikan, termasuk pembangunan ladang angin lepas pantai dan proyek-proyek “basis energi baru” di wilayah gurun yang luas. Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), otoritas perencanaan ekonomi Tiongkok, secara resmi mengumumkan strategi ini pada Rabu (21/2/2024) seperti yang dilansir Reuters.
Namun, di sisi lain, realita menunjukkan ketergantungan Tiongkok yang masih sangat tinggi pada batu bara sebagai sumber energi utama. Laporan NDRC secara tegas menyatakan bahwa produksi dan pasokan batu bara akan terus ditingkatkan pada tahun ini. Meskipun pemerintah juga berencana menguji teknologi rendah karbon di pembangkit listrik tenaga batu bara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan, fakta ini menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi Tiongkok dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan komitmen lingkungannya. Ambisius seperti apa pun rencana pengembangan energi hijau, batu bara masih menjadi tulang punggung sistem energi negeri tirai bambu.
Salah satu proyek kontroversial yang termasuk dalam rencana ini adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet. Proyek ini telah menimbulkan kekhawatiran dari negara tetangga, India, terkait potensi dampaknya terhadap aliran air di hilir. Lebih lanjut, Tiongkok juga berencana membangun jalur transmisi listrik baru yang akan menghubungkan Tibet dengan Hong Kong, Makau, dan Guangdong, sebuah proyek infrastruktur skala besar yang menunjukkan skala ambisi Tiongkok dalam pengembangan energi.
Tantangan Tiongkok dalam mencapai target emisinya tampak nyata. Pencapaian pengurangan emisi karbon per unit Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu hanya mencapai 3,4 persen, jauh di bawah target yang diharapkan. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi secara keseluruhan dan dampak cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Target lima tahunan untuk menurunkan intensitas karbon sebesar 18 persen pada akhir 2025 pun diprediksi sulit tercapai. Begitu pula dengan target pengurangan konsumsi energi per unit pertumbuhan ekonomi sebesar 13,5 persen, meskipun telah terjadi penurunan sebesar 3,8 persen pada tahun 2023.
Greenpeace, organisasi lingkungan global, menilai bahwa ekspansi energi terbarukan Tiongkok memang telah mencetak rekor dunia. Namun, organisasi tersebut menekankan bahwa efisiensi energi masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi. Tiongkok membutuhkan strategi yang lebih agresif untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mempercepat transisi menuju energi bersih, jika ingin mencapai target emisi yang telah ditetapkan dan mengurangi dampak perubahan iklim secara signifikan. Keberhasilan Tiongkok dalam mengatasi dilema ini akan berdampak besar, tidak hanya bagi negaranya sendiri, tetapi juga bagi upaya global dalam menghadapi perubahan iklim.
Proyek-proyek kunci yang direncanakan:
- Ladang angin lepas pantai
- Proyek “basis energi baru” di wilayah gurun
- Pembangkit listrik tenaga air di Sungai Yarlung Tsangpo
- Jalur transmisi listrik Tibet-Hong Kong-Makau-Guangdong