Kakorlantas Tegaskan Perbedaan Over Dimension dan Overload: Istilah ODOL Dinilai Salah Kaprah

Kakorlantas Tegaskan Perbedaan Over Dimension dan Overload: Istilah ODOL Dinilai Salah Kaprah

Irjen Pol. Agus Suryo Nugroho, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, menyatakan penggunaan istilah "ODOL" (Over Dimension Over Loading) dalam konteks lalu lintas jalan raya sebagai sebuah kesalahan mendasar. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah diskusi bersama pakar transportasi di gedung Jasa Raharja, Jakarta Selatan, Selasa (4/3/2025), dalam rangka mendukung persiapan arus mudik dan balik Lebaran 2025. Menurut Irjen Agus, istilah gabungan tersebut mengaburkan perbedaan substansial antara pelanggaran over dimension dan overload, yang memiliki dasar hukum dan sanksi yang berbeda.

Irjen Agus menjelaskan bahwa over dimension, sesuai Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), merujuk pada modifikasi kendaraan yang mengubah dimensi atau tipe kendaraan tanpa memenuhi uji tipe. Pelanggaran ini dikategorikan sebagai kejahatan lalu lintas dan dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama satu tahun dan denda Rp24.000.000,00. Lebih jauh, penegakan hukum untuk over dimension dapat berujung pada pencabutan izin usaha bagi pemilik kendaraan atau pihak yang bertanggung jawab atas modifikasi tersebut. "Yang ditakutkan oleh pemilik truk adalah rekomendasi pencabutan izin usaha," tegas Irjen Agus. Sanksi ini, menurutnya, lebih efektif sebagai efek jera dibandingkan hanya hukuman pidana.

Sementara itu, overload, yang diatur dalam Pasal 307 UU LLAJ, merupakan pelanggaran lalu lintas berupa pemuatan barang melebihi kapasitas yang diizinkan. Sanksinya berupa tilang, dan penindakannya melibatkan koordinasi antara Kepolisian dan Dinas Perhubungan. Irjen Agus menekankan perbedaan mendasar antara kedua pelanggaran ini: over dimension merupakan kejahatan yang dapat disidik secara pidana, sedangkan overload adalah pelanggaran administratif yang ditangani dengan penilangan. Penggunaan istilah ODOL, menurutnya, mencampuradukkan kedua hal tersebut, sehingga menyesatkan dan tidak tepat secara hukum.

Lebih lanjut, Irjen Agus memaparkan detail pasal-pasal yang mengatur kedua pelanggaran tersebut. Berikut kutipan Pasal 307 UU Nomor 22 Tahun 2009:

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dan berikut kutipan Pasal 277 UU Nomor 22 Tahun 2009:

Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Ia menegaskan, pentingnya pemahaman yang benar tentang perbedaan over dimension dan overload untuk penegakan hukum yang efektif dan keselamatan lalu lintas. Penggunaan istilah ODOL yang keliru, menurutnya, harus dihindari demi menghindari kebingungan dan memastikan penindakan hukum yang tepat sasaran. Irjen Agus juga menekankan bahwa dalam pelanggaran over dimension, sopir bukanlah satu-satunya pihak yang dapat ditetapkan sebagai tersangka, pemilik kendaraan atau pihak yang bertanggung jawab atas modifikasi kendaraan juga dapat dijerat.

Kesimpulannya, penjelasan Kakorlantas ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai regulasi lalu lintas terkait dimensi dan muatan kendaraan, serta menekankan pentingnya keakuratan terminologi untuk penegakan hukum yang adil dan efektif. Penggunaan istilah ODOL yang selama ini dianggap lazim, sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berpotensi menimbulkan kesalahan interpretasi dan penegakan hukum yang tidak tepat.