PN Tanjungpandan Tetapkan Status Tersangka Terhadap Enam Saksi dan Tiga Korporasi dalam Kasus Dugaan Perusakan Hutan Belitung
Kasus Perusakan Hutan Belitung: PN Tanjungpandan Tingkatkan Status Enam Saksi dan Tiga Korporasi Menjadi Tersangka
Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpandan, Bangka Belitung, mengambil langkah signifikan dalam penegakan hukum lingkungan dengan menetapkan enam saksi dan tiga korporasi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana perusakan hutan yang terjadi di wilayah tersebut. Keputusan ini diambil berdasarkan pengembangan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan sebelumnya.
Penetapan tersangka ini tertuang dalam perkara Nomor 18/Pid.Sus/2025/PN Tdn. Majelis hakim yang dipimpin oleh Endi Nursatria, dengan anggota Frans Lukas Sianipar dan Septri Andri Mangara Tua, menilai bahwa terdapat cukup bukti yang mengindikasikan keterlibatan para saksi dan korporasi dalam perbuatan melawan hukum yang merusak ekosistem hutan.
Identitas Tersangka
Adapun enam saksi yang kini berstatus tersangka adalah Y, GR, I, JRH, DF, dan AG. Mereka diduga kuat berperan serta atau memberikan bantuan dalam tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lebih lanjut, keenamnya dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait dengan tindak pidana yang terjadi di Kabupaten Belitung pada tahun 2024.
Tidak hanya individu, tiga badan hukum turut terseret dalam kasus ini. CV BJA, PT BAT, dan PT APS, juga ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan keterlibatan mereka dalam perusakan hutan. Bentuk keterlibatan masing-masing perusahaan masih didalami lebih lanjut oleh penyidik.
Dasar Penetapan Tersangka
Penetapan status tersangka terhadap para saksi dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan silang dengan saksi lain dalam persidangan perkara pidana Nomor 18/Pid.Sus/2025/PN Tdn, dengan terdakwa Leo Sumarna alias Leo Bin Sumarto dan Difriandi alias Kudev Bin Zainuri. Dari keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan, majelis hakim menemukan indikasi kuat keterlibatan para saksi dalam tindak pidana perusakan hutan.
Majelis hakim mendasarkan penetapan tersangka ini pada Pasal 36 huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Pasal ini memberikan wewenang kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka demi kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa hakim memiliki peran aktif dalam memastikan keadilan dan efektivitas penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus yang kompleks dan melibatkan banyak pihak.
Preseden Kasus di Dompu
Kasus penetapan tersangka oleh majelis hakim bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga pernah mengambil langkah serupa. Kasus ini bermula dari jual beli kayu jati ilegal yang melibatkan seorang pegawai honorer Dinas Kehutanan yang menerbitkan nota angkutan palsu.
Dalam kasus di Dompu, majelis hakim menetapkan pegawai honorer tersebut sebagai tersangka karena menilai bahwa ia turut bertanggung jawab atas peredaran kayu ilegal, meskipun polisi tidak menetapkannya sebagai tersangka. Putusan ini menunjukkan keberanian hakim dalam menegakkan hukum dan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam kejahatan dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Kasus di Tanjungpandan dan Dompu ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Hakim memiliki peran krusial dalam mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa pelaku perusakan hutan diadili secara adil dan transparan.
Dampak dan Implikasi
Penetapan tersangka terhadap enam saksi dan tiga korporasi dalam kasus perusakan hutan di Belitung ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan lingkungan lainnya. Selain itu, langkah tegas ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjaga kelestarian hutan sebagai sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi korporasi untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, terutama yang berpotensi merusak lingkungan. Korporasi harus mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan usahanya.
Diharapkan kasus ini dapat diselesaikan dengan tuntas dan memberikan keadilan bagi masyarakat serta menjaga kelestarian hutan Belitung.