DPR RI Dorong Revisi UU Penanggulangan Bencana: Respons Terhadap Kompleksitas Tantangan Bencana di Indonesia

Revisi UU Penanggulangan Bencana Mendesak: Respons terhadap Dinamika dan Kompleksitas Tantangan

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menyerukan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Desakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa undang-undang tersebut sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi kompleksitas dan dinamika tantangan bencana yang terus berkembang di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan saat kunjungan kerja ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Fikri menyoroti beberapa aspek krusial yang menjadi dasar perlunya revisi. Salah satunya adalah cakupan definisi bencana yang dinilai terlalu sempit. Bencana tidak hanya disebabkan oleh faktor alam seperti gempa bumi atau erupsi gunung berapi, tetapi juga oleh faktor-faktor non-alam seperti ketidakpatuhan terhadap kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam proses pembangunan. Praktik pembangunan yang mengabaikan KLHS dan tetap dilakukan di kawasan rawan bencana menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana.

DIY, sebagai daerah yang sering disebut "supermarket bencana", menjadi contoh nyata kompleksitas tantangan bencana di Indonesia. Daerah ini rentan terhadap berbagai jenis bencana, mulai dari gempa bumi, erupsi Gunung Merapi, banjir, hingga tanah longsor. Gempa bumi tahun 2006 menjadi pengingat akan kerentanan DIY terhadap bencana gempa, sementara erupsi Gunung Merapi terus menjadi ancaman yang nyata. Perubahan iklim yang berdampak pada peningkatan intensitas curah hujan juga meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.

Selain itu, Fikri juga menyoroti ketidakjelasan standar penanggulangan bencana antar daerah. Standar bangunan tahan gempa, misalnya, seringkali tidak diterapkan secara konsisten. Banyak bangunan, termasuk hotel, yang tidak diuji kelayakannya terhadap gempa. Hal ini tentu sangat berbahaya, mengingat potensi gempa bumi di Indonesia cukup tinggi.

Standarisasi dan Mitigasi Bencana yang Efektif

Untuk mengatasi masalah ini, Fikri menekankan perlunya standarisasi penanggulangan bencana yang jelas dan konsisten di seluruh daerah. Standarisasi ini meliputi berbagai aspek, mulai dari standar bangunan tahan bencana, prosedur evakuasi, hingga sistem peringatan dini.

  • Standar Bangunan Tahan Bencana: Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk menetapkan standar bangunan tahan bencana yang sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Standar ini harus diterapkan secara ketat, dan bangunan-bangunan yang tidak memenuhi standar harus diperbaiki atau direlokasi.
  • Prosedur Evakuasi: Prosedur evakuasi yang jelas dan mudah dipahami harus disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Latihan evakuasi secara berkala juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
  • Sistem Peringatan Dini: Sistem peringatan dini yang efektif sangat penting untuk mengurangi risiko bencana. Sistem ini harus dilengkapi dengan peralatan yang memadai dan dioperasikan oleh tenaga ahli yang terlatih. Informasi peringatan dini harus disebarluaskan kepada masyarakat secara cepat dan akurat.

Selain standarisasi, Fikri juga menekankan pentingnya mitigasi bencana. Mitigasi bencana meliputi berbagai upaya untuk mengurangi risiko bencana, seperti:

  • Survei Kebutuhan Sistem Peringatan Dini: Survei mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui kebutuhan sistem peringatan dini di setiap daerah. Hasil survei ini akan menjadi dasar untuk menentukan jumlah dan jenis peralatan peringatan dini yang dibutuhkan.
  • Pelatihan Masyarakat: Masyarakat harus dilatih sejak dini untuk menghadapi bencana. Pelatihan ini meliputi pengetahuan tentang jenis-jenis bencana, cara menyelamatkan diri saat bencana terjadi, dan cara memberikan pertolongan pertama.
  • Adaptasi Perubahan Iklim: Perubahan iklim meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting untuk mengurangi risiko bencana. Adaptasi ini meliputi berbagai upaya, seperti pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap banjir, pengelolaan tata ruang yang berkelanjutan, dan konservasi sumber daya air.

Pendidikan dan Kesiapsiagaan Masyarakat

Fikri juga mengingatkan pentingnya pendidikan kebencanaan sejak dini. Pendidikan kebencanaan dapat disisipkan dalam kurikulum pendidikan formal maupun informal. Dengan pendidikan kebencanaan, diharapkan masyarakat dapat lebih siap dan tanggap dalam menghadapi bencana.

Revisi UU Penanggulangan Bencana diharapkan dapat mengakomodasi berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam penanggulangan bencana. UU yang baru diharapkan dapat lebih efektif dalam mengurangi risiko bencana dan melindungi masyarakat dari dampak bencana.