DPR RI Jajaki Masukan Dewan Pers dan Media Terkait Pembatasan Siaran Langsung Sidang dalam Revisi KUHAP
DPR RI Jajaki Masukan Dewan Pers dan Media Terkait Pembatasan Siaran Langsung Sidang dalam Revisi KUHAP
Komisi III DPR RI berencana mengundang Dewan Pers, organisasi wartawan, dan pemimpin redaksi media massa untuk membahas lebih lanjut mengenai pembatasan siaran langsung (live streaming) persidangan yang diatur dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rapat penting ini dijadwalkan pada 8 April 2025, saat masa reses anggota dewan.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa inisiatif ini diambil untuk menjaring aspirasi dan masukan dari berbagai pihak terkait, khususnya kalangan pers, mengenai pasal-pasal yang mengatur peliputan persidangan. Salah satu poin krusial yang menjadi perhatian adalah ketentuan yang mengharuskan adanya izin dari pengadilan untuk melakukan siaran langsung proses persidangan.
"Kami akan undang Dewan Pers, PWI, AJI, dan Forum Pemimpin Redaksi pada tanggal 8 April, setelah Lebaran, khusus membahas soal itu," ujar Habiburokhman.
Fokus pada Perlindungan Saksi
Habiburokhman menjelaskan bahwa pembatasan siaran langsung ini terutama ditujukan untuk melindungi saksi dalam persidangan pidana. Menurutnya, keterangan saksi seringkali saling berkaitan, dan paparan informasi secara langsung dapat memengaruhi kesaksian mereka.
"Bagaimana pengaturan yang paling baik, kami paham teman-teman menjalankan tugas untuk memberitahukan kepada masyarakat, tapi ada beberapa acara di pengadilan dalam persidangan pidana yang memang nggak bisa disiarkan, paling penting adalah pemeriksaan saksi," ungkapnya.
DPR menyadari pentingnya peran media dalam menyampaikan informasi kepada publik, namun di sisi lain, perlindungan terhadap saksi dan kelancaran proses persidangan juga menjadi prioritas. Oleh karena itu, Komisi III DPR RI terbuka terhadap berbagai masukan untuk mencari solusi terbaik.
Menerapkan Prinsip Sidang Terbuka untuk Umum
Waketum Gerindra ini menegaskan bahwa DPR tetap menganut prinsip sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan asusila. Ia juga menyoroti potensi kesulitan yang mungkin dihadapi wartawan jika setiap peliputan persidangan harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan.
"Kalau meliput harus izin ketua pengadilan, padahal kita menganut prinsip sidang terbuka untuk umum, kecuali yang terkait asusila. Terkait asusila okelah, tapi terkait perkara biasa memang seharusnya terbuka, seharusnya teman-teman diperbolehkan untuk meliput," sambungnya.
Mengadopsi Model Siaran Langsung DPR
Habiburokhman juga menyinggung kemungkinan mengadopsi model siaran langsung yang diterapkan di DPR RI, di mana masyarakat dapat mengikuti jalannya persidangan tanpa perlu hadir secara fisik. Namun, ia menekankan bahwa model ini perlu disesuaikan dengan karakteristik persidangan pidana, terutama dalam hal perlindungan saksi.
"Bahkan kalau bisa meniru kayak DPR, live streaming automatic. Jadi teman-teman tidak perlu datang ke kami, juga bisa meliput persidangan. Tapi khusus pemeriksaan saksi yang ada kaitan satu sama lain, memang itu pemberitaannya setelah selesai," kata Habiburokhman.
Usulan Pembatasan Liputan Langsung dari Praktisi Hukum
Sebelumnya, advokat Juniver Girsang mengusulkan agar revisi KUHAP mengatur larangan liputan langsung saat persidangan. Ia berpendapat bahwa liputan langsung dapat memengaruhi keterangan para saksi. Usulan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI.
Pasal 253 Ayat 3 RUU KUHAP menyatakan bahwa setiap orang dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.
Daftar Pihak yang Akan Diundang:
Berikut adalah daftar pihak yang akan diundang dalam rapat pembahasan revisi KUHAP:
- Dewan Pers
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
- Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)
- Forum Pemimpin Redaksi
Dengan melibatkan berbagai pihak terkait, DPR RI berharap dapat menghasilkan revisi KUHAP yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk pers, masyarakat, dan sistem peradilan pidana.