Kontroversi THR Ormas: Antara Tradisi dan Pemerasan Berkedok Lebaran

Polemik THR Ormas: Menguji Empati di Tengah Realitas Ekonomi

Pernyataan kontroversial Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhammad Syafi'i mengenai permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Alih-alih mengecam praktik yang dianggap banyak pihak sebagai pemerasan terselubung, Wamenag justru menilai hal tersebut sebagai bagian dari "budaya berlebaran" di Indonesia, sebuah pernyataan yang dinilai kurang tepat oleh banyak kalangan.

Sikap Wamenag ini dinilai kontras dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi, terutama oleh seorang tokoh agama. Idealnya, Wamenag dapat memberikan contoh dengan mengutip hadis-hadis yang menekankan pentingnya memberi daripada meminta, atau kisah-kisah inspiratif tentang kedermawanan dan kemuliaan hati.

Kisah Inspiratif Sang Budak dan Abdullah bin Ja'far

Salah satu kisah yang relevan adalah kisah Abdullah bin Ja'far dan seorang budak hitam yang menjaga kebun kurma. Abdullah bin Ja'far, seorang tokoh yang dikenal karena kedermawanannya, menyaksikan bagaimana sang budak memberikan sebagian besar bekal makanannya kepada seekor anjing yang kelaparan. Ketika ditanya mengapa ia berbuat demikian, sang budak menjawab bahwa ia tidak tega membiarkan anjing itu kelaparan setelah datang dari tempat yang jauh. Abdullah bin Ja'far sangat tersentuh dengan kedermawanan sang budak hingga akhirnya membeli kebun kurma beserta budaknya, memerdekakannya, dan memberikan kebun itu kepadanya. Kisah ini menjadi teladan tentang bagaimana seseorang yang bahkan dalam kondisi kekurangan sekalipun mampu menunjukkan kedermawanan yang luar biasa.

Realitas Pahit di Lapangan

Terlepas dari perdebatan mengenai tradisi dan budaya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik permintaan THR oleh Ormas seringkali berujung pada pemerasan dan intimidasi terhadap perusahaan-perusahaan. Ketua Himpunan Kawasan Industri, Sanny Iskandar, mengungkapkan bahwa gangguan semacam ini marak terjadi di berbagai kawasan industri di Indonesia, terutama di daerah-daerah seperti Bekasi dan Karawang. Praktik ini juga seringkali menjadi modus operandi untuk pungutan liar, uang keamanan, dan permintaan jatah proyek.

Dampak Negatif bagi Iklim Investasi

Praktik-praktik seperti ini tentu saja merugikan para pengusaha karena menambah biaya operasional dan menciptakan ketidakpastian dalam berbisnis. Akibatnya, kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia pun dapat menurun, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi.

Penegakan Hukum yang Tegas

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan, pemerintah dan aparat terkait perlu bertindak tegas untuk memberantas praktik-praktik ilegal ini secara permanen. Ormas-ormas yang terlibat dalam pemerasan dan intimidasi dapat dijerat sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang Ormas dan perubahannya. Selain itu, oknum anggota Ormas yang terbukti melakukan tindakan pidana juga dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan Pasal 482 UU 1/2023 tentang tindakan tidak menyenangkan.

Refleksi Akhir: Empati vs. Pembiaran

Perdebatan mengenai THR Ormas ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai empati, kedermawanan, dan keadilan. Sementara membantu sesama adalah perbuatan mulia, praktik pemerasan dan intimidasi tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan bebas dari praktik-praktik ilegal yang merugikan semua pihak. Apakah kita akan terus melanggengkan "budaya" yang merugikan ini, atau berani mengambil sikap tegas untuk menegakkan keadilan dan kebenaran?