Lesunya Daya Beli: Pedagang Pasar Tradisional Gunungkidul Merana Jelang Lebaran
Pasar Tradisional Argosari: Sepi Pembeli di Tengah Euforia Lebaran
Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah, denyut ekonomi di Pasar Tradisional Argosari, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta justru terasa lemah. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana pasar ini dipenuhi oleh masyarakat yang berburu perlengkapan Lebaran, suasana kali ini tampak lengang dan memprihatinkan.
Para pedagang pakaian, alas kaki, dan kebutuhan Lebaran lainnya merasakan penurunan omzet yang signifikan. Keluhan demi keluhan terlontar dari para pemilik toko yang sudah berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidupnya dari ramainya Pasar Argosari menjelang Lebaran. Mereka mengakui bahwa penurunan ini jauh lebih parah dibandingkan masa pandemi Covid-19.
Keluhan Pedagang: Penurunan Drastis dan Ancaman Gulung Tikar
S. Basuki, seorang pedagang pakaian generasi ketiga, mengungkapkan bahwa omzetnya merosot hingga 70% dibandingkan tahun lalu. Biasanya, H-3 Lebaran adalah puncak keramaian, namun kali ini, tokonya sepi pengunjung. Ia hanya bisa berharap keajaiban di sisa waktu menjelang Lebaran.
Parwoto, pedagang sepatu dan tas, senada dengan Basuki. Ia menuding maraknya belanja online sebagai penyebab utama sepinya pasar tradisional. Menurutnya, kemudahan dan pilihan yang beragam di platform e-commerce telah menggerus pelanggan setia pasar tradisional. Bahkan, banyak pedagang yang terpaksa menutup usahanya karena tidak mampu bersaing.
Suyat, pedagang lainnya, menambahkan bahwa biasanya dua minggu sebelum puasa, pasar sudah mulai ramai. Namun, tahun ini, hingga menjelang Lebaran, belum ada tanda-tanda peningkatan pembeli. Ia mengungkapkan bahwa pada masa jayanya, ia bisa meraup keuntungan Rp 4-5 juta per hari saat Lebaran. Kini, untuk mendapatkan Rp 1 juta saja sangat sulit. Upaya obral yang dilakukannya pun belum membuahkan hasil yang signifikan.
Daya Tarik Pasar Tradisional di Mata Pembeli
Di tengah keluhan pedagang, masih ada pembeli setia yang memilih berbelanja di pasar tradisional. Marsiyem, seorang pembeli asal Semanu, mengaku senang berbelanja di Pasar Argosari karena pilihannya yang beragam dan praktis. Ia bisa menemukan berbagai kebutuhan Lebaran dalam satu tempat tanpa harus berpindah-pindah toko. Selain itu, harga yang lebih murah juga menjadi daya tarik utama.
Andi, pembeli lainnya, memilih pasar tradisional untuk membeli sandal karena variasi model dan harga yang lebih terjangkau. Ia juga menikmati sensasi tawar-menawar yang sulit didapatkan saat berbelanja online. Selain itu, ia tidak perlu menunggu pengiriman dan bisa langsung melihat serta mencoba barang yang akan dibeli.
Mencari Solusi: Revitalisasi Pasar dan Adaptasi Digital
Kondisi Pasar Argosari ini menjadi potret buram bagi pasar tradisional lainnya di Indonesia. Pemerintah daerah dan pengelola pasar perlu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Revitalisasi fisik pasar: Memperbaiki infrastruktur pasar, menciptakan suasana yang lebih bersih dan nyaman, serta menata layout pasar agar lebih menarik.
- Promosi pasar tradisional: Mengadakan event-event menarik, memanfaatkan media sosial untuk promosi, dan menjalin kerjasama dengan influencer lokal.
- Pelatihan bagi pedagang: Memberikan pelatihan tentang digital marketing, pengelolaan keuangan, dan pelayanan pelanggan yang baik.
- Fasilitasi pedagang untuk berjualan online: Membantu pedagang membuat toko online, memberikan pelatihan tentang cara berjualan di marketplace, dan menyediakan fasilitas internet yang terjangkau.
Dengan upaya yang terpadu, diharapkan pasar tradisional dapat kembali menjadi pusat perbelanjaan yang ramai dan menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Adaptasi dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen menjadi kunci untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional di era digital ini.