Analis Politik: Pertemuan Jokowi dan Megawati di Lebaran 2025 Sulit Terwujud, Perlu 'Mukjizat'
Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada momen Idul Fitri 2025 menjadi sorotan publik. Harapan agar kedua tokoh nasional ini dapat bersilaturahmi di hari raya diutarakan oleh berbagai pihak, termasuk politisi dari kalangan partai pendukung pemerintah. Namun, Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, memberikan pandangan yang cukup pesimis.
Menurut Adi Prayitno, melihat dinamika politik yang berkembang saat ini, sangat sulit membayangkan Jokowi dan Megawati dapat bertemu dalam waktu dekat, apalagi di momen Lebaran. Ia bahkan menyebutkan bahwa pertemuan keduanya di Lebaran mendatang akan menjadi sebuah 'mukjizat'.
"Melihat konflik politik sampai hari ini, rasa-rasanya pertemuan kedua tokoh ini di momen Idul Fitri sulit terwujud. Apalagi belakangan ini kedua belah pihak makin mengeras. Namun jika terjadi pertemuan antar keduanya, itu 'mukjizat' yang luar biasa karena secara nalar politik sulit dijangkau," ujar Adi Prayitno.
Meskipun demikian, Adi Prayitno tetap melihat adanya potensi mencairnya hubungan kedua tokoh ini di masa depan. Ia berpendapat bahwa intensitas pertemuan antara anak-anak Jokowi dan Megawati, seperti Gibran Rakabuming Raka dan Puan Maharani, dapat menjadi jembatan untuk meredakan ketegangan yang ada.
"Entah di kemudian hari, konflik politik kedua kubu mungkin bisa menipis karena seiring berjalannya waktu dan adanya regenerasi di kubu masing-masing. Buktinya Puan dan Gibran bisa terlihat bisa bertemu di banyak momen. Puan dan Gibran mewakili generasi Megawati dan Jokowi," jelasnya.
Adi Prayitno meyakini bahwa Puan Maharani dan Gibran Rakabuming Raka memiliki peran sentral dalam menjembatani komunikasi antara Megawati dan Jokowi. Keduanya dinilai tidak memiliki sekat politik yang menghalangi terjalinnya dialog. Pertemuan-pertemuan yang kerap terjadi antara Puan dan Gibran di berbagai acara menunjukkan bahwa tidak ada friksi serius di antara mereka.
Lebih lanjut, Adi Prayitno menjelaskan bahwa Idul Fitri seharusnya menjadi momen yang tepat bagi Jokowi dan Megawati untuk saling memaafkan dan memperbaiki hubungan. Namun, ia juga menyadari bahwa realitas politik seringkali tidak sejalan dengan idealisme tersebut.
"Secara agama Idul Fitri adalah ajang saling memaafkan antar sesama manusia yang mungkin selama berinteraksi ada salah khilaf dan dosa. Dalam tradisi Islam, Idul Fitri momen membersihkan diri dari segala dosa apapun. Secara substansi Idul Fitri itu kembali suci. Tapi dalam realitas kehidupan sosial dan politik tak semudah yang dibayangkan seperti momen islah politik antar elite," terangnya.
Adi Prayitno mencontohkan bahwa tidak sedikit elite politik yang tetap menjaga jarak bahkan di momen Idul Fitri. Meskipun mungkin saling memaafkan dalam hati, pertemuan dan silaturahmi secara fisik sulit diwujudkan.
Sebelumnya, Jazilul Fawaid dari Fraksi PKB DPR RI menyambut baik pertemuan anak dan menantu mantan presiden RI di acara ulang tahun putra Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo. Ia berharap momen serupa dapat terjadi di Lebaran, dengan kehadiran Jokowi dan Megawati.
"Betul (harapan Megawati bertemu Jokowi), momen luar biasa kalau itu terjadi," kata Jazilul.
Jazilul menilai bahwa Didit Hediprasetyo memiliki daya tarik yang mampu mengumpulkan anak-anak mantan presiden RI. Ia berharap keharmonisan yang terlihat dalam pertemuan tersebut dapat berlanjut di momen Idul Fitri, dengan kehadiran para mantan presiden yang masih hidup.
Analisis:
Perkembangan politik di Indonesia saat ini menunjukkan adanya dinamika yang kompleks, terutama dalam hubungan antara tokoh-tokoh penting seperti Jokowi dan Megawati. Meskipun harapan untuk rekonsiliasi selalu ada, realitas politik seringkali menjadi penghalang. Peran generasi muda, seperti Puan Maharani dan Gibran Rakabuming Raka, menjadi penting dalam menjembatani komunikasi dan membangun kembali hubungan yang harmonis. Momen Idul Fitri, meskipun secara ideal menjadi waktu yang tepat untuk saling memaafkan, tidak selalu mampu mengatasi perbedaan dan ketegangan politik yang ada.