Industri Manufaktur Indonesia: Penyerapan Tenaga Kerja Baru Melebihi Angka PHK di Tahun 2024
Industri Manufaktur Indonesia: Penyerapan Tenaga Kerja Baru Melebihi Angka PHK di Tahun 2024
Data terbaru dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan tren positif dalam penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia sepanjang tahun 2024. Tercatat sebanyak 1.082.998 tenaga kerja baru terserap oleh industri manufaktur yang memulai produksi pada tahun tersebut. Angka ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilaporkan Kementerian Ketenagakerjaan, yaitu 48.345 orang untuk seluruh sektor ekonomi. Perlu ditekankan bahwa angka PHK tersebut mencakup seluruh sektor, bukan hanya manufaktur.
Meskipun terdapat penutupan beberapa pabrik dan PHK yang terjadi sepanjang tahun 2024, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan empati kepada perusahaan dan pekerja yang terdampak. Namun, beliau juga menekankan upaya Kemenperin dalam meningkatkan investasi di sektor manufaktur dan mendorong bermunculannya industri baru. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja alternatif bagi pekerja yang terkena PHK dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Kemenperin secara aktif berupaya menarik investasi baru dan mendorong terciptanya industri baru yang produktif, sehingga mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Pertumbuhan sektor industri manufaktur di Indonesia terlihat jelas dalam peningkatan jumlah tenaga kerja di industri pengolahan nonmigas. Angka tersebut meningkat dari 17,43 juta pada tahun 2020 menjadi 19,96 juta pada tahun 2024. Data SIINas menunjukkan rasio yang mengesankan: setiap satu tenaga kerja yang terkena PHK di sektor manufaktur mampu menciptakan dan menyerap 20 tenaga kerja baru pada tahun 2024. Rasio ini mengalami peningkatan signifikan dari 1:5 pada tahun 2022 menjadi 1:7 pada tahun berikutnya, dan mencapai 1:20 di tahun 2024. Tren positif ini menunjukkan peningkatan kinerja serapan tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia.
Meskipun demikian, beberapa faktor eksternal dan internal berkontribusi pada PHK yang terjadi. Beberapa penyebab PHK termasuk penurunan permintaan pasar ekspor, mismanagement pabrik, perubahan strategi bisnis perusahaan induk yang memindahkan basis produksi lebih dekat ke pasar luar negeri, ketidakmampuan pelaku industri dalam mengantisipasi perkembangan teknologi sehingga produknya kalah bersaing, dan faktor lainnya. Sebagian besar penutupan pabrik disebabkan oleh penurunan permintaan domestik akibat membanjirnya produk impor. Faktor lain yang berkontribusi terhadap PHK adalah pelemahan belanja dalam negeri dan kelangkaan bahan baku.
Pemerintah, melalui Kemenperin, berfokus pada pengawasan terhadap penutupan industri yang disebabkan oleh kelangkaan bahan baku, hambatan produksi, dan upgrade teknologi. Upaya mencari solusi atas permasalahan tersebut menjadi prioritas. Kolaborasi dan sinergi antar pemangku kebijakan, termasuk instansi yang berwenang dalam mengeluarkan kebijakan terkait safeguard, peraturan lalu lintas barang, dan hambatan non-tarif (NTB), diperlukan untuk mengatasi tantangan ini secara komprehensif. Dengan demikian, pemerintah berharap dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkelanjutan di sektor manufaktur Indonesia.
Kesimpulannya, meskipun terdapat tantangan berupa PHK di beberapa sektor, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan kinerja yang kuat dalam menyerap tenaga kerja baru. Kemenperin terus berkomitmen untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak lagi di masa mendatang.