Dugaan Pungutan Liar di SMAN 4 Medan Mencuat, Kepala Sekolah Diperiksa Terkait Dana Pensiun Guru
Dugaan Pungutan Liar di SMAN 4 Medan Terkait Dana Pensiun Guru Mencuat
Medan, Sumatera Utara - Praktik dugaan pungutan liar (pungli) kembali mencoreng dunia pendidikan di Sumatera Utara. Kali ini, SMAN 4 Medan menjadi sorotan setelah viral di media sosial terkait dugaan pengumpulan dana dari siswa untuk acara pelepasan guru yang memasuki masa pensiun. Kasus ini mencuat setelah seorang kader PSI dengan akun @brorondm mengunggah informasi tersebut ke media sosial, memicu reaksi keras dari masyarakat.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa setiap siswa diminta menyumbang sebesar Rp 10.000 untuk masing-masing guru yang pensiun. Mengingat ada lima guru yang akan pensiun pada tahun 2025, total sumbangan yang harus dibayarkan setiap siswa mencapai Rp 50.000. Dengan jumlah siswa mencapai seribu lebih, potensi dana yang terkumpul mencapai angka yang signifikan.
Praktik pengumpulan dana ini diduga dilakukan melalui bendahara kelas, yang kemudian menyerahkan dana tersebut kepada Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Ironisnya, para siswa mengaku tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai penggunaan dana tersebut, menimbulkan kecurigaan bahwa dana tersebut mungkin tidak sampai kepada guru yang bersangkutan atau bahkan disalahgunakan.
Tak hanya pungutan untuk dana pensiun guru, siswa kelas XII juga diwajibkan membayar uang sekolah dan membeli baju batik seharga Rp 160.000. Ancaman tidak diizinkan mengikuti ujian menjadi sanksi bagi siswa yang tidak memenuhi kewajiban tersebut, menambah beban finansial bagi para siswa dan keluarga.
Menanggapi isu yang berkembang, Dinas Pendidikan Sumatera Utara (Disdik Sumut) bergerak cepat dengan memanggil Kepala SMAN 4 Medan, Rianto A Sinaga, untuk dimintai keterangan. Kepala Bidang Pembinaan SMA Disdik Sumut, M Basir Hasibuan, mengungkapkan bahwa pemanggilan tersebut dilakukan pada Senin, 24 Maret 2025. Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan bahwa pengumpulan dana untuk guru pensiun merupakan praktik yang telah berlangsung bertahun-tahun.
"Sudah diperiksa Cabang Dinas Pendidikan, dan dalam pemeriksaan tersebut terungkap bahwa praktik tersebut memang dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan setiap tahun jika ada guru yang pensiun," ujar M Basir Hasibuan.
Namun, pengakuan ini justru menimbulkan pertanyaan baru. Apakah praktik ini legal dan memiliki dasar hukum yang jelas? Ataukah ini merupakan bentuk pungutan liar yang terstruktur dan sistematis? Disdik Sumut berjanji akan melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengungkap kebenaran di balik kasus ini.
Kasus dugaan pungutan liar di SMAN 4 Medan ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Sumatera Utara. Integritas dan profesionalisme tenaga pendidik kembali dipertanyakan. Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memperketat pengawasan dan menindak tegas segala bentuk praktik pungutan liar di lingkungan sekolah. Pendidikan seharusnya menjadi hak bagi semua anak bangsa, bukan menjadi beban karena praktik-praktik yang tidak terpuji.
Langkah Selanjutnya
Disdik Sumut akan melakukan audit mendalam terhadap keuangan sekolah untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Jika terbukti adanya penyimpangan, sanksi tegas akan diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Disdik Sumut juga akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada seluruh kepala sekolah dan guru di Sumatera Utara mengenai larangan praktik pungutan liar dan pentingnya menjaga integritas dan profesionalisme sebagai tenaga pendidik.
Daftar Pungutan yang Dipertanyakan:
- Sumbangan wajib Rp 50.000 untuk guru pensiun (Rp 10.000 per guru).
- Pembayaran uang sekolah.
- Pembelian baju batik seharga Rp 160.000.
Disdik Sumut mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi dan melaporkan jika menemukan indikasi praktik pungutan liar di sekolah. Dengan partisipasi aktif dari masyarakat, diharapkan dunia pendidikan di Sumatera Utara dapat bersih dari praktik-praktik yang merugikan dan mencoreng citra pendidikan.