Korupsi Menggerogoti Pilar Hukum: Sebuah Ironi di Negara Pancasila

Korupsi Menggerogoti Pilar Hukum: Sebuah Ironi di Negara Pancasila

Hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, kerap kali justru tampak tumpul di hadapan praktik korupsi yang merajalela. Ironi ini semakin terasa mengingat Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila, sebuah ideologi yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Alih-alih menjadi instrumen untuk memberantas kejahatan, hukum justru terkesan dimanfaatkan sebagai alat untuk melindungi para pelaku korupsi.

Negara Hukum dalam Bayang-Bayang Korupsi

Konstitusi dan doktrin resmi negara menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Namun, realitas di lapangan seringkali bertolak belakang. Kita menyaksikan bagaimana hukum seringkali tak berdaya menghadapi kekuatan uang dan kekuasaan. Praktik suap, persekongkolan, dan impunitas para elite menjadi pemandangan yang lazim, menggerogoti sendi-sendi keadilan sosial yang seharusnya menjadi cita-cita luhur bangsa.

Fungsi hukum sebagai penyaring kebusukan dan penegak kebenaran terdistorsi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Lembaga penegak hukum, alih-alih menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, justru terkesan bermain sandiwara. Proses hukum yang seharusnya transparan dan akuntabel, seringkali menjadi panggung dagelan yang mempermainkan rasa keadilan masyarakat. Hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor pun seringkali terasa ringan, tidak sebanding dengan kerugian yang mereka timbulkan.

Pancasila yang Terabaikan

Pancasila, sebagai sumber etika kolektif, seharusnya menjadi kompas moral dalam sistem hukum. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sila kelima Pancasila, yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dikhianati oleh praktik korupsi yang merajalela. Korupsi adalah perampokan sistematis yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Ia merampas hak-hak rakyat, menghancurkan layanan publik, dan melumpuhkan potensi bangsa.

Ironisnya, kita seolah kehilangan keberanian untuk menegakkan sila kelima Pancasila secara utuh. Akibatnya, terciptalah negara hukum Pancasila yang setengah hati, yang hanya berpakaian moral namun berjalan dengan kaki kepentingan. Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individual, melainkan manifestasi dari budaya politik yang koruptif.

Sistem yang Memanjakan Koruptor

Dalam sistem yang korup, para pelaku korupsi merasa aman dan terlindungi. Mereka tahu bahwa mereka dapat membeli waktu, pengaruh, bahkan vonis. Mereka tidak merasa takut melanggar hukum, karena mereka yakin bahwa sistem dapat dimanipulasi demi kepentingan mereka. Koruptor di Indonesia bukan sekadar penjahat, melainkan penyelenggara pesta yang menari di atas penderitaan rakyat. Ironisnya, sebagian masyarakat justru mengagumi mereka. Inilah absurditas negara hukum kita: yang mencuri dihormati, yang jujur dicurigai.

Reformasi yang Belum Menyentuh Akar Masalah

Berbagai upaya reformasi hukum telah dilakukan selama dua dekade terakhir. Undang-undang telah diubah, lembaga-lembaga baru telah dibentuk, dan jargon-jargon antikorupsi telah diluncurkan. Namun, praktik korupsi tetap subur. Mengapa? Karena reformasi yang dilakukan hanya menyentuh permukaan, tidak menyentuh akar masalahnya.

Reformasi tanpa transformasi hanya akan menjadi kosmetik belaka. Kita mempercantik gedung KPK, tetapi melumpuhkan taringnya. Kita mengutuk korupsi di mimbar, tetapi berkompromi dalam lobi-lobi politik. Kita menyerukan transparansi, tetapi menertawakan akuntabilitas.

Keberanian moral adalah kunci utama dalam memberantas korupsi. Keadilan bukan sekadar prosedur, melainkan keberanian untuk melawan ketidakadilan, meskipun datang dari pihak yang berkuasa. Negara hukum seharusnya adalah negara yang berani, bukan negara yang takut pada pemilik modal dan pelindung politik.

Membangun Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik pada hukum adalah fondasi utama negara hukum. Tanpa kepercayaan publik, negara hukum akan runtuh. Untuk membangun kembali kepercayaan publik, negara harus menegakkan keadilan secara egaliter. Koruptor tidak boleh dilindungi karena status atau jabatannya. Hukum harus buta terhadap jabatan, tetapi tidak terhadap kebenaran.

Pendidikan hukum harus ditransformasikan. Kita harus mencetak sarjana hukum yang tidak hanya cakap secara prosedural, tetapi juga memiliki moralitas dan keberanian untuk menegakkan keadilan. Masyarakat sipil harus diberi ruang yang luas untuk menjadi penjaga etik. Whistleblower harus dilindungi, bukan dikhianati. Media harus diberdayakan, bukan dibungkam.

Mengakhiri Pesta Korupsi

Negara hukum Pancasila bukan sekadar slogan, melainkan janji yang harus ditepati. Pesta pora korupsi harus diakhiri. Korupsi adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Ia merampok kesempatan anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan, mencuri nyawa pasien yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, dan membunuh harapan rakyat terhadap negara.

Jika pesta pora koruptor masih terus berlangsung, maka negara hukum Pancasila hanya akan menjadi panggung sandiwara. Kita membutuhkan negara yang berani menyalakan lampu, mematikan musik, dan membubarkan pesta itu. Karena hukum, pada akhirnya, bukan tentang pasal, melainkan tentang keberanian.