Krisis Telur di AS: Flu Burung Picu Lonjakan Harga, Eropa dan Turki Ulurkan Tangan?
Krisis Telur di AS: Flu Burung Picu Lonjakan Harga, Eropa dan Turki Ulurkan Tangan?
Amerika Serikat (AS) tengah menghadapi krisis telur yang cukup serius. Harga telur melonjak drastis dalam beberapa waktu terakhir, memaksa konsumen membayar mahal untuk kebutuhan pokok ini. Pemicunya adalah wabah flu burung yang melanda peternakan unggas di seluruh negeri.
Dampak Flu Burung Terhadap Pasokan Telur
Wabah flu burung H5N1 telah memaksa pemusnahan lebih dari 166 juta unggas, baik liar maupun domestik, sejak awal tahun 2022. Menurut data Departemen Pertanian AS (USDA), lebih dari 30 juta ayam petelur telah dimusnahkan tahun ini, setara dengan 12,3% dari total populasi ayam petelur yang dikandangkan dan hampir 8% dari populasi ayam petelur yang dipelihara tanpa dikandangkan. Meskipun peternakan organik relatif tidak terpengaruh, dampak keseluruhan terhadap pasokan telur sangat signifikan.
Kenaikan harga telur mencapai 159% dalam setahun terakhir, memaksa beberapa toko bahan makanan untuk memberlakukan pembatasan jumlah telur yang boleh dibeli oleh setiap konsumen. Kondisi ini mendorong AS untuk mencari solusi alternatif, termasuk menjajaki kemungkinan impor telur dari Eropa.
Respon Eropa Terhadap Permintaan Telur dari AS
Beberapa negara Eropa, seperti Denmark, Swedia, Belanda, Jerman, Spanyol, Prancis, dan Italia Tengah, didekati untuk melihat potensi ekspor surplus telur ke AS. Namun, Eropa sendiri juga tengah berjuang melawan wabah flu burung selama tiga tahun terakhir. Polandia, Hungaria, dan Prancis termasuk negara-negara yang paling terdampak. Bahkan, Portugal melaporkan wabah di sebuah peternakan unggas dekat Lisbon pada Januari lalu. Inggris Raya juga telah menerapkan langkah-langkah pengendalian penyakit yang ketat menyusul dugaan kasus flu burung di Irlandia Utara.
Selain itu, AS secara historis memberlakukan pembatasan impor telur dari sebagian besar negara Uni Eropa karena kekhawatiran akan penyakit unggas, terutama flu burung. Hans-Peter Goldnick, presiden Asosiasi Telur Jerman, menyatakan bahwa meskipun Jerman mengekspor telur dalam perdagangan komoditas, volumenya sangat kecil. Ia juga menekankan bahwa pasokan telur untuk Paskah aman, tetapi meminta warga Jerman untuk tidak menimbun telur.
Pejabat dari Finlandia, Swedia, dan Denmark juga menyatakan ketidakmampuan mereka untuk membantu karena pembatasan impor yang diberlakukan oleh AS dan kendala birokrasi.
Harapan dari Turki dan Belanda
Di tengah kesulitan tersebut, Turki muncul sebagai harapan baru. Kantor berita Reuters melaporkan bahwa Turki akan memperluas ekspor telurnya ke AS, dengan kesepakatan sementara untuk mengirim tambahan 15.000 ton telur. Ibrahim Afyon, ketua Serikat Produsen Telur Pusat di Turki, mengatakan bahwa negaranya akan mengirimkan sekitar 240 juta telur hingga Juli mendatang, atau enam kali lipat dari jumlah yang diekspor ke AS pada tahun 2024. Ekspor tambahan ini diperkirakan akan menghasilkan pendapatan sekitar $26 juta bagi Turki.
Selain itu, Bloomberg melaporkan bahwa AS berencana memberlakukan kembali lisensi impor produk telur dari Belanda. Belanda adalah eksportir telur terbesar di dunia, dan rencana ekspor ke AS ini akan mencakup pengiriman telur cair dan bubuk, menurut European Union of Wholesale in Eggs, Egg-Products, Poultry and Game (EUWEP).
Tantangan Logistik dan Prospek Krisis
Namun, Eropa juga menghadapi tantangan logistik dalam mengekspor telur ke AS. Sifat telur yang rapuh dan kebutuhan untuk mengendalikan suhu selama transportasi menjadi kendala tersendiri. Transportasi udara mahal, sementara pengiriman melalui laut akan memakan waktu lama mengingat masa simpan telur yang terbatas.
Meskipun harga telur di AS mulai menurun dalam sebulan terakhir karena penurunan permintaan dan peningkatan pasokan, permintaan diperkirakan akan meningkat lagi dalam beberapa bulan mendatang. Wabah flu burung yang terus berlanjut juga berpotensi mempengaruhi produksi telur. Dibutuhkan waktu 4 hingga 5 bulan untuk mengganti ayam yang dimusnahkan dan memungkinkan ternak unggas mencapai usia bertelur. Bahkan setelah ayam mulai bertelur, produksi telur pada awalnya rendah dan secara bertahap meningkat seiring waktu.
Mengingat faktor-faktor ini, banyak ahli memperkirakan bahwa harga telur akan tetap tinggi, dan kekurangan tersebut mungkin akan berlangsung setidaknya hingga akhir tahun.