Prioritaskan Lapangan Kerja, Bukan Sekadar Bagi-Bagi Makanan: Analisis Mendalam Kebijakan Pangan Pemerintah

Prioritaskan Lapangan Kerja, Bukan Sekadar Bagi-Bagi Makanan: Analisis Mendalam Kebijakan Pangan Pemerintah

Pemerintah mengklaim bahwa Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) lebih mendesak daripada penciptaan lapangan kerja. Klaim ini menimbulkan perdebatan sengit, terutama terkait dengan strategi jangka panjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menyatakan bahwa pemenuhan gizi merupakan fondasi utama pembangunan SDM berkualitas. Sementara Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengklaim program ini berpotensi mengurangi kemiskinan dan menciptakan hingga 1,9 juta lapangan kerja. Namun, pernyataan ini memicu pertanyaan mendasar: apakah bantuan pangan merupakan solusi yang lebih efektif dibandingkan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan?

Kontradiksi Data dan Prioritas

Pemerintah mengklaim bahwa 180 juta penduduk Indonesia kekurangan gizi. Namun, data ini kontras dengan laporan Global Hunger Index 2023, yang menempatkan Indonesia pada kategori "moderat." Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan metodologi pengukuran yang digunakan pemerintah. Pernyataan tentang tingginya angka kelahiran bayi cacat dan kasus tuberkulosis (TBC) juga perlu dikaji lebih lanjut, mengingat hubungan kausalitasnya dengan kekurangan gizi tidak selalu langsung.

Fokus pemerintah pada MBG sebagai solusi utama juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritas. Teori ekonomi klasik dan modern menekankan bahwa penciptaan lapangan kerja merupakan kunci utama peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika pemerintah menganggap MBG lebih mendesak, klaim ini perlu diuji secara komprehensif.

Risiko Ketergantungan dan Beban Fiskal

MBG berpotensi memberikan manfaat jangka pendek dalam mengatasi masalah gizi. Namun, tanpa lapangan kerja yang memadai, masyarakat berisiko terjebak dalam ketergantungan bantuan sosial. Program ini juga berpotensi menjadi program populis yang membebani anggaran negara tanpa memberikan dampak ekonomi yang signifikan.

Anggaran untuk MBG mencapai ratusan triliun rupiah. Jika program ini dibiayai melalui utang, beban fiskal jangka panjang akan semakin berat. Negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang menerapkan program bantuan pangan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kemandirian ekonomi.

Krisis Pengangguran dan Potensi yang Terbuang

Indonesia menghadapi krisis pengangguran yang mengancam stabilitas ekonomi dan sosial. Tingkat pengangguran resmi mencapai 4,91 persen pada September 2024, lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Selain itu, tingginya tingkat setengah pengangguran dan pekerja informal memperburuk ketidakpastian ekonomi.

Jumlah NEET (Not in Education, Employment, or Training) juga terus meningkat, mengancam masa depan tenaga kerja Indonesia. Setiap tahun, Indonesia harus menciptakan jutaan lapangan kerja baru untuk menampung pertumbuhan angkatan kerja. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, pengangguran akan terus meningkat.

Pernyataan bahwa MBG lebih mendesak daripada penciptaan lapangan kerja adalah pandangan yang keliru. Tanpa ketersediaan pekerjaan yang cukup, masyarakat akan terus bergantung pada bantuan pemerintah, menghambat kemandirian ekonomi, yang akan menggerogoti semangat juang dan kemandirian bangsa. Pekerjaan yang layak, bukan bantuan cuma-cuma, fondasi kokoh kemajuan.

Belajar dari Sejarah

Sejarah membuktikan bahwa gejolak sosial dan revolusi lebih sering dipicu oleh kemiskinan dan pengangguran, bukan oleh masalah gizi semata. Revolusi Perancis dan Arab Spring adalah contoh nyata bagaimana ketidakadilan ekonomi dan kurangnya lapangan kerja dapat memicu instabilitas sosial.

Masyarakat membutuhkan pekerjaan yang layak agar dapat hidup berkualitas dan memenuhi kebutuhan gizinya secara mandiri. Program pemberian makanan gratis mungkin bisa membantu dalam jangka pendek, tetapi tanpa lapangan kerja berkelanjutan, rakyat tetap terjebak dalam ketergantungan dan ketidakpastian ekonomi.

Rekomendasi Kebijakan

Daripada mengalokasikan dana besar untuk MBG yang hanya memberikan manfaat sesaat, pemerintah seharusnya fokus pada penciptaan lapangan kerja berkelanjutan. Investasi dalam industri padat karya, pelatihan keterampilan, dan insentif bagi perusahaan dapat menciptakan dampak yang lebih besar.

Perlindungan tenaga kerja juga harus menjadi prioritas. Pemerintah dapat belajar dari negara lain seperti Vietnam yang berhasil menarik investasi asing dan menyerap jutaan tenaga kerja dengan menerapkan kebijakan pelatihan vokasi dan insentif bagi industri manufaktur.

Kesimpulan

Pemerintah tidak boleh meremehkan pentingnya lapangan pekerjaan. Negara yang maju adalah negara yang rakyatnya memiliki akses terhadap pekerjaan layak dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. MBG mungkin tampak seperti kebijakan yang baik di permukaan. Namun, tanpa strategi ekonomi yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja, program ini hanya akan menjadi candu yang melemahkan daya saing rakyat. Kesejahteraan hakiki adalah kemandirian ekonomi, bukan sekadar uluran tangan sesaat.

Bangsa yang besar dibangun dengan memberdayakan rakyat melalui akses terhadap pekerjaan dan peluang ekonomi yang berkelanjutan, bukan dengan membagikan sekotak makanan gratis.