TPA Degayu Ditutup Akibat Overload: Pekalongan Hadapi Krisis Sampah Serius

TPA Degayu Ditutup Akibat Overload: Pekalongan Hadapi Krisis Sampah Serius

Kota Pekalongan, Jawa Tengah, tengah menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah setelah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu dinyatakan ditutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Keputusan ini diambil menyusul status darurat sampah yang ditetapkan di wilayah tersebut, akibat TPA Degayu yang sudah overload dan tidak mampu lagi menampung volume sampah harian yang dihasilkan warga.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto, mengungkapkan bahwa penutupan ini merupakan respons atas pengawasan lapangan yang dilakukan oleh KLHK. Surat peringatan juga telah dilayangkan kepada beberapa kabupaten/kota yang dianggap belum optimal dalam penanganan sampah.

"Kementerian mengambil langkah penutupan TPA untuk saat ini, melihat kondisi di lapangan," ujar Widi Hartanto.

Solusi Mendesak: Insinerator, Bank Sampah, dan TPS 3R

Menghadapi situasi darurat ini, DLHK Provinsi Jawa Tengah mendorong Pemerintah Kota Pekalongan untuk segera mengambil langkah-langkah strategis. Salah satu solusi yang disarankan adalah penggunaan insinerator untuk membakar sampah, meskipun opsi ini seringkali menuai kontroversi terkait potensi dampak negatif terhadap kualitas udara.

Selain itu, optimalisasi peran bank sampah dan Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS 3R) juga menjadi prioritas. Widi Hartanto menekankan bahwa untuk sementara waktu, selama kurang lebih enam bulan ke depan, Pemkot Pekalongan tidak diperbolehkan membuang sampah ke TPA Degayu.

Anggaran dan Infrastruktur Pengelolaan Sampah yang Mendesak

Widi Hartanto juga menyoroti perlunya alokasi anggaran tambahan untuk meningkatkan pengelolaan sampah di daerah-daerah yang membutuhkan. Investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang modern dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mengatasi masalah overload TPA, terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk.

Solusi jangka panjang yang diusulkan adalah pembangunan TPA regional atau Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) regional. Namun, realisasi proyek ini terkendala oleh ketersediaan lahan yang memenuhi persyaratan, seperti jarak minimal 500 meter dari pemukiman warga untuk TPST dan 1 kilometer untuk TPA. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah, khususnya di kota-kota yang memiliki keterbatasan lahan.

Penanganan Sampah dari Hulu: Kompos dan RDF

Widi Hartanto juga menekankan pentingnya penanganan sampah dari hulu, dengan mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos. Selain itu, sampah juga dapat diolah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai substitusi bahan bakar di pabrik semen, seperti yang telah diterapkan di Kabupaten Cilacap. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan sekaligus memberikan nilai tambah ekonomis.

Transformasi Sistem Pengelolaan TPA

Lebih lanjut, Widi Hartanto mendorong transformasi sistem pengelolaan sampah di TPA dari sistem open dumping menjadi controlled landfill. Dari 46 TPA yang ada di Jawa Tengah, masih terdapat 36 TPA yang menerapkan sistem open dumping. Meskipun demikian, upaya penutupan TPA open dumping dengan tanah terus dilakukan di sejumlah daerah.

Widi Hartanto tidak menyebutkan secara detail daerah mana saja yang masih menerapkan open dumping atau yang sudah memiliki sistem controlled landfill dan sanitary landfill. Namun, ia memastikan bahwa pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan sistem pengelolaan sampah untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Krisis sampah di Kota Pekalongan menjadi pengingat bagi daerah lain untuk segera berbenah dalam pengelolaan sampah. Investasi dalam infrastruktur, teknologi, dan edukasi masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.