Peradi Tegaskan Kehati-hatian Penerapan Restorative Justice dalam RUU KUHAP

Peradi Tegaskan Kehati-hatian Penerapan Restorative Justice dalam RUU KUHAP

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Luhut Pangaribuan, menyampaikan imbauan penting terkait pengaturan mekanisme restorative justice dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah digodog. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (5/3/2025), Luhut menekankan perlunya kehati-hatian dalam merumuskan aturan tersebut. Ia menyoroti potensi kelemahan yang dapat menggerus fondasi hukum pidana di Indonesia jika implementasi restorative justice tidak terencana dengan matang.

Luhut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pengaturan mekanisme restorative justice yang terkesan terburu-buru dalam RUU KUHAP. Menurutnya, perumusan mekanisme yang detail tanpa pemahaman yang jelas mengenai implementasinya di lapangan merupakan langkah prematur. "Konsep restorative justice memang positif," ujar Luhut, "namun pengaturan mekanismenya dalam RUU ini perlu dikaji ulang. Belum jelas bagaimana mesin kerjanya, namun mekanismenya sudah diatur secara rinci. Hal ini rawan menimbulkan masalah di kemudian hari." Ia menambahkan, "Mudah-mudahan hal ini masih dalam tahap kajian dan belum final." Pernyataan ini menunjukkan keprihatinan Peradi terhadap potensi inkonsistensi dan ketidakjelasan dalam implementasi restorative justice jika aturannya disahkan tanpa perencanaan yang komprehensif.

Lebih lanjut, Luhut mengingatkan perbedaan mendasar antara norma hukum publik dan privat. Penerapan restorative justice dalam ranah hukum pidana, yang termasuk dalam hukum publik, perlu dikaji secara mendalam agar tidak merusak fondasi sistem peradilan pidana di Indonesia. "Kita harus ingat, kita berurusan dengan hukum pidana," tegasnya. "Jika mekanisme perdamaian diterapkan secara serampangan pada kasus pidana, maka fondasi hukum kita akan runtuh." Ia menambahkan bahwa usulan dalam RUU KUHAP yang menyebutkan mekanisme restorative justice sudah diatur di tahap penyidikan dan penuntutan dinilai keliru secara konseptual. Hal ini menunjukkan bahwa Peradi menyoroti potensi konflik hukum yang mungkin muncul akibat pengesahan RUU tersebut.

Pernyataan Luhut Pangaribuan ini memberikan sinyal penting bagi para pembentuk undang-undang. Pertimbangan yang matang dan komprehensif, termasuk studi kelayakan dan kajian dampak, diperlukan sebelum memutuskan mekanisme restorative justice dalam RUU KUHAP. Langkah ini penting untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan sistem peradilan pidana di Indonesia, serta mencegah potensi disharmoni dan ketidakpastian hukum. Pentingnya melibatkan para ahli dan praktisi hukum dalam proses penyusunan RUU KUHAP menjadi poin krusial untuk mencegah potensi kesalahan yang dapat berdampak luas di masa mendatang. Peradi, sebagai organisasi advokat terkemuka, berharap agar legislator memperhatikan masukan ini demi terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan efektif.

Daftar Poin Penting yang Disampaikan Luhut Pangaribuan:

  • Kekhawatiran terhadap pengaturan mekanisme restorative justice yang terburu-buru dalam RUU KUHAP.
  • Perlu kejelasan mekanisme restorative justice sebelum diatur secara detail.
  • Perbedaan mendasar antara norma hukum publik dan privat harus dipertimbangkan.
  • Potensi rusaknya fondasi hukum pidana jika restorative justice diterapkan secara serampangan.
  • Usulan pengaturan mekanisme restorative justice di tahap penyidikan dan penuntutan dinilai keliru secara konseptual.
  • Pentingnya kajian yang mendalam dan komprehensif sebelum pengesahan RUU KUHAP.