Sistem Pemilu Proporsional Terbuka: Hambatan Kesetaraan Gender dan Usulan Sistem Campuran

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka: Hambatan Kesetaraan Gender dan Usulan Sistem Campuran

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) baru-baru ini mengungkapkan temuan penting terkait sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia. Hasil kajian Puskapol UI menunjukkan sistem ini justru menghambat kesetaraan gender dan kurang efektif dalam mendorong keterwakilan perempuan di parlemen. Peneliti Puskapol UI, Delia Wildianti, menjelaskan bahwa sistem ini menciptakan persaingan bebas yang merugikan perempuan yang masih menghadapi berbagai kendala dalam akses dan partisipasi politik.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI pada Rabu, 5 Maret 2025, Delia memaparkan bahwa persaingan bebas dalam sistem proporsional terbuka menyulitkan perempuan untuk bersaing secara efektif dengan kandidat laki-laki. Hal ini berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang, berdasarkan studi komparatif dari berbagai negara, terbukti lebih efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan melalui mekanisme kuota dan sistem zipper. Sistem zipper, misalnya, memastikan penempatan kandidat perempuan secara bergantian dalam daftar calon.

Namun, Delia menekankan bahwa mengadopsi sistem proporsional tertutup bukan solusi ideal. Ia mencatat kelemahan sistem ini, seperti potensi peningkatan ketidaktransparanan. Selain itu, kondisi partai politik di Indonesia yang belum optimal dalam menjalankan fungsinya juga menjadi pertimbangan penting. Sistem proporsional terbuka, di sisi lain, meskipun memiliki catatan negatif terkait peningkatan politik uang, tetap memiliki akar historis kuat di era reformasi.

Sebagai alternatif, Delia mengusulkan Komisi II DPR RI untuk mempertimbangkan sistem proporsional campuran sebagai jalan tengah. Riset Puskapol UI menemukan bahwa 27 negara telah melakukan reformasi pendanaan partai politik, dan empat di antaranya—Italia, Meksiko, Kosta Rika, dan Panama—menunjukkan peningkatan signifikan dalam keterwakilan perempuan melalui sistem proporsional campuran. Keempat negara tersebut mengimplementasikan sistem campuran yang menggabungkan elemen first past the post (FPTP) dan daftar tertutup proporsional.

Sistem proporsional campuran, menurut Delia, menawarkan dua keuntungan utama. Pertama, varian proporsional daftar tertutup dapat memperkuat institusi partai politik. Kedua, varian FPTP dapat meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Dengan fleksibilitasnya, sistem campuran dapat diadaptasi untuk mencapai prioritas utama, baik penguatan partai politik maupun peningkatan keterwakilan perempuan. Kesimpulannya, Puskapol UI mendorong pertimbangan serius terhadap sistem proporsional campuran sebagai solusi yang lebih seimbang dan efektif untuk mengatasi tantangan kesetaraan gender dalam sistem pemilu Indonesia.

Kesimpulan: Sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia menghadapi kritik karena dinilai tidak efektif dalam meningkatkan kesetaraan gender dan keterwakilan perempuan. Puskapol UI mengusulkan sistem proporsional campuran sebagai alternatif yang dapat mengatasi kekurangan sistem proporsional terbuka dan tertutup, sekaligus memperkuat partai politik dan meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.