Keseimbangan Pembangunan: Menimbang Konservasi Hutan dan Ketahanan Pangan Energi di Indonesia

Dilema Pembangunan: Konservasi Hutan vs. Ketahanan Pangan dan Energi

Rencana pemerintah untuk mengkonversi 20,6 juta hektare (ha) hutan menjadi lahan pangan, air, dan energi terus menuai sorotan. Di satu sisi, kebutuhan akan pangan dan energi yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan ekonomi tak bisa diabaikan. Namun, di sisi lain, implikasi lingkungan dari konversi hutan skala besar ini menimbulkan kekhawatiran serius.

Sejak awal tahun 2000-an, para ahli telah memperingatkan tentang potensi kekurangan pangan, energi, dan air bersih (FEWS). Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan memang memerlukan pengembangan lahan pertanian dan sumber energi baru dan terbarukan. Pertanyaannya, apakah konversi 20,6 juta ha hutan adalah satu-satunya solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Nilai Tak Ternilai Hutan Tropis Indonesia

Hutan tropis Indonesia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk 13% spesies mamalia dunia, 16% spesies reptil, 17% spesies burung, dan 10% spesies tanaman berbunga. Hutan alam tropis Indonesia merupakan salah satu dari lima lokasi dengan kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Nilai hutan tropis dapat diukur dari berbagai aspek, termasuk nilai ekonomi, penyerapan karbon, jasa lingkungan, pariwisata, dan agroforestri. Studi oleh The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) memperkirakan nilai hutan tropis antara 2.000-20.000 dollar AS per ha per tahun. Hutan di Sumatera dan Kalimantan bahkan bernilai 3.000-15.000 dollar AS per ha per tahun.

Luas kawasan hutan yang berpotensi dikonversi mencapai 20,6 juta ha, angka yang diperoleh Kementerian Kehutanan pada Desember 2024. Perhitungan ini didasarkan pada kawasan hutan yang belum berizin, kawasan hutan produksi yang belum berizin, dan kawasan hutan yang sudah berizin.

Namun, penting untuk mempertimbangkan apakah seluruh kawasan tersebut benar-benar tanpa pepohonan. Konversi lahan yang masih memiliki tutupan hutan akan mengurangi stok karbon dan meningkatkan emisi karbon ke atmosfer, memperburuk degradasi dan deforestasi yang telah lama menjadi masalah di Indonesia. Konversi hutan dengan biomasa 204,10 ton menjadi perkebunan, misalnya, dapat mengurangi biomasa menjadi 161,23 ton, menghasilkan emisi CO2 sebesar 73.95 ton Co2/ha.

Dampak Konversi Hutan: Ancaman Serius

Jika 20,6 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan, emisi yang dihasilkan diperkirakan mencapai 1.479 mega ton CO2 equivalent. Selain itu, Indonesia berpotensi kehilangan 60 miliar dollar AS per tahun, belum termasuk hilangnya keanekaragaman hayati yang tak tergantikan.

Opsi Alternatif: Sebelum Hutan Dikonversi

Evaluasi terhadap kebijakan serupa di masa lalu, seperti proyek food estate, sangat penting. Apakah proyek food estate lahan gambut 1 juta ha di Kalimantan Tengah berhasil? Bagaimana dengan proyek serupa di Papua dan Sumatera Utara? Pengalaman dari proyek-proyek ini harus menjadi pelajaran berharga.

Di sisi lain, ada program-program yang seharusnya menjadi prioritas untuk meningkatkan produktivitas pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas panen padi pada 2024 diperkirakan sekitar 64.190 ha, meningkat 9,52% dibandingkan 2023. Badan Pangan Nasional memperkirakan produksi beras nasional mencapai 31,93 juta ton, ditambah kuota impor 433.000 ton. Angka ini dapat meningkat jika program perluasan lahan 1,3 juta ha dari Kementerian Pekerjaan Umum dapat direalisasikan.

Intensifikasi pertanian dengan memperbaiki sistem irigasi dan tata niaga pupuk dapat meningkatkan hasil panen petani dari 7 ton menjadi 10 ton gabah kering per ha, sehingga memenuhi kebutuhan pangan tanpa harus mengkonversi hutan.

Indonesia juga memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan potensi energi dari solar panel mencapai 3.000 GW, tenaga air 75 GW, energi angin 61 GW, dan geothermal 28,5 GW. Namun, pada tahun 2020, hanya 12% dari 70 GW instalasi listrik terpasang di Indonesia yang menggunakan energi terbarukan.

Memaksimalkan potensi energi baru dan terbarukan adalah solusi yang lebih berkelanjutan daripada mengandalkan biomasa dan biofuel yang memerlukan pembukaan hutan.

Pendekatan Spasial untuk Mitigasi

Kebijakan cadangan hutan untuk pangan, air, dan energi seluas 20,6 juta ha perlu dikaji secara spasial dan lebih detail. Pendekatan pemodelan spasial dapat digunakan untuk melihat indeks tekanan manusia (human modification index) dan menyusun skenario mitigasi.

Hasil kajian ini akan memberikan gambaran alternatif yang dapat dilakukan dengan menggunakan hirarki mitigasi. Dengan skenario mitigasi, kawasan hutan yang dapat digunakan untuk cadangan pangan dan energi tidak lebih dari 2,3 juta ha.

Skenario mitigasi dapat mencakup restorasi, pemanfaatan lestari melalui agroforestri tanpa penebangan, dan kompensasi (offset) dari kehilangan kawasan pertanian dengan memanfaatkan lahan terlantar dan Hutan Produksi Konversi (HPK).

Aspek non-spasial seperti intensifikasi tanaman pangan dan perkebunan, perbaikan tata niaga pupuk, pengembangan kapasitas petani, dan perbaikan infrastruktur pertanian juga perlu diperhatikan.

Ketahanan pangan dan energi adalah program jangka panjang yang penting bagi Indonesia. Namun, kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian secara matang, serta selaras dengan komitmen perubahan iklim seperti yang tertuang dalam kebijakan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Dengan mengoptimalkan penggunaan lahan sambil tetap menjaga kekayaan hutan tropis, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan dan energi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.