Es Abadi Jayawijaya di Ambang Kepunahan: Ancaman Nyata Perubahan Iklim di Indonesia
Jayawijaya Kehilangan Mahkotanya: Ancaman Perubahan Iklim Mengintai Salju Abadi
Puncak Jayawijaya, ikon kebanggaan Indonesia dengan hamparan salju abadinya, kini menghadapi ancaman serius. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa lapisan es yang tersisa di puncak tersebut terancam lenyap pada tahun 2026. Hilangnya salju abadi ini bukan sekadar kehilangan simbol alam yang ikonik, melainkan sebuah alarm keras tentang dampak nyata perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam pernyataan terbarunya, menegaskan bahwa mencairnya es di Puncak Jayawijaya merupakan konsekuensi langsung dari perubahan iklim global. Fenomena serupa, menurutnya, juga mengancam keberadaan gletser di kawasan Pegunungan Himalaya, termasuk Gunung Everest yang menjadi puncak tertinggi dunia.
Penyebab Utama: Deforestasi dan Emisi Gas Rumah Kaca
Salah satu faktor utama yang mempercepat perubahan iklim ini adalah peningkatan emisi gas rumah kaca, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama pembukaan lahan hutan secara besar-besaran. Dwikorita menjelaskan bahwa deforestasi yang terjadi di Papua, termasuk wilayah sekitar Puncak Jayawijaya, melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer. Hal ini mempercepat kenaikan suhu permukaan bumi dan memperparah pencairan es.
"Hutan-hutan di Papua mulai terbuka, melepaskan karbon dioksida yang mempercepat kenaikan suhu permukaan," ujar Dwikorita.
Pemantauan Intensif Sejak 2010
BMKG, bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia, telah melakukan pemantauan intensif terhadap penyusutan es abadi di Puncak Jayawijaya sejak tahun 2010. Tim peneliti menggunakan metode pengukuran langsung dengan memasang patok (stake) berupa potongan pipa yang terhubung dengan tali untuk memantau perubahan ketebalan es secara berkala. Data yang terkumpul menunjukkan laju penyusutan yang sangat mengkhawatirkan.
Berikut data penyusutan es abadi Puncak Jayawijaya:
- 2010: Ketebalan es tercatat 32 meter.
- November 2015 - Mei 2016: Ketebalan es menyusut drastis menjadi 5,6 meter.
- 2024: Luas es yang tersisa hanya 0,11-0,16 kilometer persegi, menyusut dari 0,23 kilometer persegi pada 2022.
Awalnya, pemantauan dilakukan langsung di Puncak Sudirman. Namun, sejak 2017, keterbatasan akses memaksa tim peneliti untuk mengandalkan pemantauan visual dari udara.
Dampak yang Lebih Luas
Data-data ini menjadi bukti yang tak terbantahkan tentang percepatan penyusutan es abadi di Puncak Jayawijaya. Fenomena ini bukan hanya sekadar hilangnya keindahan alam Indonesia, tetapi juga merupakan peringatan keras tentang dampak perubahan iklim yang semakin nyata dan mengancam berbagai aspek kehidupan.
Kehilangan salju abadi ini dapat berdampak pada:
- Ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar.
- Keanekaragaman hayati yang unik di wilayah pegunungan.
- Industri pariwisata yang mengandalkan keindahan alam Puncak Jayawijaya.
Lebih jauh lagi, lenyapnya es di Jayawijaya adalah cerminan dari masalah global yang membutuhkan tindakan nyata dan kerjasama internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi lingkungan.
Langkah Mendesak untuk Mitigasi
Diperlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang komprehensif untuk mengatasi dampak perubahan iklim ini. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi hutan yang tersisa, dan mengembangkan strategi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Dengan tindakan yang cepat dan tepat, kita masih memiliki kesempatan untuk melindungi Puncak Jayawijaya dan warisan alam Indonesia yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.