Rancangan Undang-Undang Polri Dikecam Publik di Media Sosial: Gelombang Penolakan Meluas
Gelombang Penolakan RUU Polri Menggema di Dunia Maya
Kekecewaan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI belum sepenuhnya mereda, kini muncul kekhawatiran baru terkait wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Reaksi keras dari masyarakat sipil kembali mencuat, dengan media sosial, khususnya platform X (dahulu Twitter), menjadi wadah utama penyampaian aspirasi penolakan.
Sejak Sabtu, 22 Maret 2025, tagar #TolakRUUPolri mendominasi perbincangan daring, menjadi trending topic yang menarik perhatian ratusan ribu warganet. Hingga Selasa pagi, 25 Maret 2025, tagar tersebut telah digunakan lebih dari 321.000 kali, sebuah indikasi kuat atas penolakan publik yang signifikan terhadap RUU Polri.
Kekhawatiran Publik terhadap RUU Polri
Penolakan ini bukan sekadar luapan emosi sesaat. Banyak pengguna X secara aktif membagikan dan menganalisis pasal-pasal kontroversial dalam draf RUU Polri. Kekhawatiran utama berpusat pada potensi ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan sipil, dan akuntabilitas lembaga kepolisian.
Sentimen negatif terhadap RUU Polri diperkuat oleh tindakan represif aparat keamanan dalam demonstrasi menentang UU TNI di Malang, yang baru-baru ini terjadi. Hal ini memicu kemarahan dan kekecewaan publik, mendorong mereka untuk lebih aktif menyuarakan penolakan terhadap RUU Polri.
Suara-Suara Penolakan di Media Sosial
Berikut adalah beberapa contoh suara netizen yang menentang RUU Polri:
- @maidina__: Menyoroti Pasal 16(1)e RUU Polri yang memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengelola tahanan dan barang bukti. Menurutnya, fungsi ini sebaiknya tidak berada di tangan penyidik karena berpotensi memicu penyiksaan dan penyalahgunaan wewenang. Pemisahan fungsi penahanan/penyitaan dari pengelolaan barang bukti dianggap krusial.
- @lucimaya123: Mengkritik tindakan represif polisi dan meminta anggota DPR untuk mempertimbangkan kembali poin-poin dalam RUU Polri yang berpotensi menjadikan Polri sebagai "superbody". Ia khawatir bahwa tanpa adanya UU pun, sudah banyak oknum polisi yang bermasalah, apalagi jika RUU tersebut disahkan.
- @heruparwit76875: Menyerukan penolakan RUU Polri karena menilai banyak ketidakjelasan dan ketidakbecusan anggota Polri dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di Indonesia.
- @andini_ali98760: Menyatakan bahwa RUU Polri mengancam kebebasan sipil. Ia berpendapat bahwa jika RUU tersebut disahkan, kritik bisa dibungkam, pengawasan akan semakin ketat, dan kekuasaan akan menjadi tidak terkontrol. Ia menekankan pentingnya polisi yang melindungi, bukan menakuti.
- @Dwynna_Win: Mengajak masyarakat untuk bersuara menentang RUU Polri yang dianggap akan memberikan kewenangan lebih kepada kepolisian di bidang cyber dan berpotensi menjadikannya lembaga "superbody". Ia juga menyoroti RUU KUHAP yang dianggap akan melemahkan kejaksaan dalam proses penyidikan perkara korupsi.
Potensi Dampak RUU Polri
Kritik terhadap RUU Polri terutama berfokus pada potensi dampaknya terhadap:
- Kebebasan Sipil: Kekhawatiran bahwa RUU ini dapat digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.
- Akuntabilitas Polri: Kekhawatiran bahwa RUU ini akan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Polri tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
- Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Kekhawatiran bahwa kewenangan yang lebih besar akan meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi.
Gelombang penolakan RUU Polri di media sosial menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Pemerintah dan DPR diharapkan mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan kembali pasal-pasal kontroversial dalam RUU Polri agar tidak mengancam demokrasi dan kebebasan sipil.