Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat di Sumbawa Terhambat Birokrasi Pusat
Status Ilegal Pertambangan Rakyat Sumbawa Berlanjut Akibat Penundaan Pengesahan Dokumen WPR oleh Kementerian ESDM
Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat – Impian para penambang rakyat di Kabupaten Sumbawa untuk melegalkan aktivitas mereka masih jauh dari kenyataan. Meskipun wilayah pertambangan rakyat (WPR) telah ditetapkan, pengesahan resminya terhambat birokrasi di tingkat pusat.
Menurut Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Provinsi NTB, Iwan Setiawan, dokumen pengelolaan WPR yang menjadi kunci legalitas pertambangan rakyat hingga kini belum diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penundaan ini menyebabkan seluruh aktivitas pertambangan rakyat di Sumbawa masih berstatus ilegal.
"Saat ini, Dinas ESDM NTB masih menunggu pengesahan dokumen pengelolaan pasca tambang oleh Menteri ESDM," ujar Iwan, Senin (24/3/2025).
Lebih lanjut, Iwan menjelaskan bahwa dokumen WPR ini disusun oleh Kementerian ESDM dan pengesahannya merupakan kewenangan penuh Menteri ESDM. Fokus saat ini adalah menyelesaikan WPR, sebelum membahas Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Proses Panjang Pengajuan WPR Sumbawa:
Pengajuan WPR di Kabupaten Sumbawa sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2018. Pada tahun 2022, Menteri ESDM menetapkan blok-blok WPR untuk seluruh wilayah NTB. Kemudian, pada tahun 2024, terbit Keputusan Menteri ESDM (Kepmen ESDM) Nomor 174 yang mewajibkan pembuatan dokumen pengelolaan WPR. Dokumen tersebut telah selesai dibuat, namun masih menunggu tanda tangan dari Menteri ESDM.
Kendala Anggaran Penghambat Pembuatan Dokumen Pascatambang:
Setelah dokumen pengelolaan WPR diterbitkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi memiliki kewajiban untuk menganggarkan pembuatan dokumen pengelolaan pascatambang. Namun, kendala anggaran menjadi masalah serius dalam proses ini.
"Karena refocusing, anggarannya hilang, termasuk juga anggaran tentang Perda Iuran Pertambangan Rakyat," ungkap Iwan. Ia menekankan bahwa tanpa anggaran yang memadai, pembuatan dokumen pengelolaan pascatambang tidak dapat dilakukan. Proses penyusunan dokumen ini melibatkan pihak ketiga, dan Dinas ESDM hanya bertugas menyiapkan anggaran.
Implikasi dan Harapan:
Penundaan pengesahan WPR ini berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat Sumbawa yang bergantung pada sektor pertambangan rakyat. Status ilegal menyebabkan ketidakpastian hukum, kesulitan akses permodalan, dan potensi konflik sosial. Diharapkan, pemerintah pusat segera menyelesaikan proses pengesahan dokumen WPR agar aktivitas pertambangan rakyat di Sumbawa dapat berjalan legal dan berkelanjutan.
Potensi WPR di NTB:
Di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri terdapat 16 blok WPR yang mencakup pertambangan pasir besi dan emas, dimana tiga diantaranya berlokasi di Kabupaten Sumbawa. Legalisasi WPR ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Berikut adalah poin-poin penting dari berita ini:
- Status ilegal pertambangan rakyat di Sumbawa berlanjut.
- Dokumen pengelolaan WPR belum disahkan Menteri ESDM.
- Kendala anggaran menghambat pembuatan dokumen pascatambang.
- Terdapat 16 blok WPR di NTB, 3 di antaranya di Sumbawa.
- Proses pengajuan WPR telah berlangsung sejak 2018.
Dengan legalitas WPR diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan daerah, dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan.