KY Selidiki Putusan Bebas Terdakwa Pencabulan Anak oleh Pengadilan Negeri Jayapura
Komisi Yudisial Dalami Kontroversi Putusan Bebas Kasus Pencabulan Anak di Jayapura
Komisi Yudisial (KY) memulai investigasi mendalam terkait putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jayapura. Putusan tersebut membebaskan AFH, seorang anggota kepolisian yang sebelumnya didakwa melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur pada Januari 2025.
Anggota KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan analisis menyeluruh terhadap putusan hakim, khususnya pada bagian pertimbangan hukum. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). "KY perlu mengkaji secara mendalam alasan hakim yang mendasarkan pembebasan terdakwa pada ketiadaan saksi. Penting untuk dievaluasi apakah alat bukti lain, seperti visum et repertum, telah dipertimbangkan secara memadai oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama persidangan," ujarnya. Mukti menekankan pentingnya hakim untuk secara proaktif menggali fakta-fakta yang relevan sebagai alat bukti alternatif, terutama dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang seringkali sulit dibuktikan secara langsung.
Proses Investigasi dan Penerimaan Laporan
KY mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerima laporan terkait dugaan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh majelis hakim PN Jayapura yang menangani perkara tersebut. Laporan ini diterima melalui penghubung KY di Jayapura, Papua, pada tanggal 18 Maret 2025. Saat ini, laporan tersebut sedang dalam proses verifikasi untuk memastikan kelengkapan persyaratan administrasi dan substansi sebelum secara resmi diregistrasi.
Kontras dengan Tuntutan Jaksa
Putusan majelis hakim PN Jayapura sangat kontras dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU menuntut agar AFH dihukum pidana penjara selama 12 tahun, dikurangi masa tahanan sementara, serta denda sebesar Rp 200.000.000, dengan subsider pidana penjara selama 6 bulan. JPU berkeyakinan bahwa AFH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seorang anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dasar Hukum Tuntutan
Tuntutan JPU didasarkan pada Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Pasal-pasal ini mengatur tentang larangan dan sanksi bagi pelaku kekerasan atau eksploitasi seksual terhadap anak.
Detail Putusan Pengadilan
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jayapura, amar putusan menyatakan bahwa terdakwa AFH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam dakwaan alternatif kesatu maupun dakwaan alternatif kedua. Perkara dengan Nomor 329/Pid.Sus/2024/PN Jap ini diputus oleh Hakim Ketua Zaka Talpatty pada tanggal 23 Januari 2025.
Langkah Selanjutnya
Investigasi yang dilakukan oleh KY akan berfokus pada:
- Analisis mendalam terhadap pertimbangan hukum majelis hakim PN Jayapura.
- Evaluasi terhadap alat bukti yang diajukan oleh JPU.
- Penilaian terhadap penerapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam proses persidangan.
Hasil investigasi ini akan menentukan apakah terdapat indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh majelis hakim dan tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh KY. Publik menanti hasil investigasi ini dengan harapan adanya keadilan bagi korban dan kepastian hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.