Membongkar Sejarah Pabrik Gula Bagong Surabaya: Dari Kejayaan Ekspor Hingga Kenangan Terbengkalai
Saksi Bisu Kejayaan Gula Jawa: Kisah Pabrik Gula Bagong yang Terlupakan
Pernahkah Anda mendengar tentang kejayaan Pulau Jawa sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia pada abad ke-19? Di balik gemerlap sejarah itu, berdiri kokoh pabrik-pabrik gula yang menjadi tulang punggung perekonomian kolonial. Salah satu saksi bisu dari era keemasan tersebut adalah Pabrik Gula Bagong, yang terletak di Surabaya, Jawa Timur. Namun, berbeda dengan masa lalu yang gemilang, kini pabrik tersebut hanya menyisakan bangunan tua yang terbengkalai, menyimpan serpihan-serpihan cerita tentang kejayaan dan kemunduran.
Pabrik Gula Bagong didirikan oleh Notto Di Poero, seorang pengusaha pribumi yang visioner. Ia memperoleh konsesi lahan dari pemerintah kolonial pada tanggal 27 Februari 1893. Lokasinya yang strategis, dekat dengan perkebunan tebu Darmo dan Gubeng, Kertajaya, memungkinkan pabrik ini untuk mengolah tebu dengan efisien. Pada masanya, Pabrik Gula Bagong menjadi satu-satunya pabrik gula yang dimiliki oleh orang Indonesia di Surabaya, menjadikannya simbol kemandirian ekonomi di tengah dominasi kolonial.
Dari Tanam Paksa Hingga Modernisasi
Kejayaan Pabrik Gula Bagong tak lepas dari kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan ini memaksa petani untuk menanam tebu, yang kemudian dijual kepada pabrik-pabrik gula dengan harga yang telah ditetapkan. Meskipun kontroversial, tanam paksa mendorong produksi gula secara besar-besaran, menjadikan Pulau Jawa sebagai salah satu produsen gula terbesar di dunia.
Untuk memenuhi kebutuhan produksi, Pabrik Gula Bagong memiliki lahan tebu yang luas di sekitar pabrik, termasuk daerah Ngagel dan Gubeng. Proses pengolahan gula pada awalnya dilakukan secara tradisional, menggunakan alat penggiling tebu yang ditarik oleh tenaga sapi. Air tebu yang dihasilkan kemudian diolah hingga menjadi butiran gula putih.
Seiring berjalannya waktu, Pabrik Gula Bagong mengalami modernisasi. Pada awal abad ke-20, mesin-mesin industri mulai menggantikan peralatan tradisional, meningkatkan kapasitas produksi secara signifikan. Gula yang dihasilkan diekspor ke berbagai wilayah, memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Surabaya dan Pulau Jawa.
Kemunduran dan Kenangan
Sayangnya, kejayaan Pabrik Gula Bagong tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1926, seiring dengan perkembangan wilayah perumahan di daerah Gubeng, pabrik ini mulai mengalami kemunduran. Pembangunan perumahan mengurangi lahan tebu yang tersedia, sehingga mempengaruhi pasokan bahan baku pabrik.
Selain itu, persaingan dengan pabrik-pabrik gula modern juga menjadi tantangan bagi Pabrik Gula Bagong. Pabrik-pabrik baru yang dilengkapi dengan teknologi canggih mampu menghasilkan gula dengan biaya yang lebih rendah, sehingga membuat Pabrik Gula Bagong kesulitan untuk bersaing.
Akhirnya, Pabrik Gula Bagong harus menghentikan operasionalnya. Bangunan pabrik terbengkalai dan tidak terawat, menjadi saksi bisu dari kejayaan masa lalu. Kini, bangunan tersebut dimiliki oleh pihak swasta dan tidak termasuk dalam aset pemerintah.
Menelusuri Jejak Sejarah
Meski telah lama tidak beroperasi, bangunan Pabrik Gula Bagong masih dapat dilihat di kawasan Gubeng, Surabaya. Bangunan ini menjadi pengingat tentang masa lalu Pulau Jawa sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia. Keberadaan pabrik ini juga menjadi bukti bahwa Surabaya pernah menjadi pusat industri gula yang penting di Indonesia.
Kisah Pabrik Gula Bagong adalah cerita tentang kejayaan, kemunduran, dan perubahan zaman. Pabrik ini menjadi simbol kemandirian ekonomi, dampak kebijakan kolonial, dan perkembangan industri di Indonesia. Dengan melestarikan bangunan dan sejarahnya, kita dapat belajar dari masa lalu dan menghargai warisan budaya yang berharga.
Berikut adalah poin-poin penting mengenai Pabrik Gula Bagong:
- Didirikan oleh Notto Di Poero pada abad ke-19.
- Satu-satunya pabrik gula milik orang Indonesia di Surabaya.
- Berkontribusi pada kejayaan Pulau Jawa sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia.
- Mengalami modernisasi pada awal abad ke-20.
- Tutup pada tahun 1926 karena perkembangan perumahan dan persaingan.
- Bangunan pabrik masih dapat dilihat di kawasan Gubeng, Surabaya.