RUU Perampasan Aset: Senjata Pamungkas Pemberantasan Korupsi yang Terus Tertunda
RUU Perampasan Aset: Senjata Pamungkas Pemberantasan Korupsi yang Terus Tertunda
Wacana pembangunan penjara khusus koruptor di pulau terpencil, yang digagas sebagai bentuk ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi, menuai beragam tanggapan. Meskipun gagasan ini patut diapresiasi sebagai simbol komitmen, urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) justru menjadi prioritas utama dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
RUU PATP menawarkan pendekatan revolusioner dalam penanganan kasus korupsi, yaitu melalui prinsip Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB Asset Forfeiture). Prinsip ini memungkinkan negara untuk merampas aset yang terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, tanpa harus menunggu adanya vonis pidana terhadap pelaku. Hal ini menjadi terobosan signifikan, mengingat proses hukum yang panjang dan kompleks seringkali menjadi kendala dalam penanganan kasus korupsi.
Mekanisme dan Keunggulan RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset memungkinkan negara untuk merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan tersangka. Pasal 5 ayat 2 poin a dalam RUU ini memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset tersangka jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya secara sah. Mekanisme ini sangat efektif dalam menjerat para koruptor yang menyembunyikan hasil kejahatannya atau melarikan diri ke luar negeri.
Berikut adalah keunggulan RUU Perampasan Aset:
- Efektivitas Perampasan Aset: Memungkinkan perampasan aset hasil korupsi tanpa menunggu vonis pidana.
- Pengejaran Aset Lintas Negara: Mempermudah pelacakan dan perampasan aset yang disembunyikan di luar negeri.
- Efisiensi Proses Hukum: Memangkas proses hukum yang panjang dan berbelit-belit.
- Meningkatkan Penerimaan Negara: Mengembalikan aset hasil korupsi ke kas negara untuk kepentingan pembangunan.
RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Kenyataan
Ironisnya, RUU Perampasan Aset yang sangat penting ini justru mengalami jalan terjal dalam proses legislasi. Sejak pertama kali digagas pada tahun 2008, RUU ini belum juga disahkan menjadi undang-undang. Meskipun sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, RUU ini selalu gagal dibahas secara serius oleh DPR. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset masuk dalam prolegnas 2025-2029, tetapi gagal masuk ke dalam prolegnas prioritas 2025.
Lambatnya proses pengesahan RUU Perampasan Aset menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa RUU yang begitu penting bagi pemberantasan korupsi justru terabaikan? Apakah ada kepentingan tertentu yang menghalangi pengesahan RUU ini?
Dampak Korupsi dan Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset
Tindakan korupsi yang semakin masif di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada payung hukum yang kuat untuk menanganinya. Hukuman ringan bagi pelaku korupsi mengindikasikan bahwa uang lebih berkuasa daripada hukum. Hal ini pada akhirnya akan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan mendorong semakin banyak orang untuk melakukan korupsi.
Tidak kunjung disahkannya RUU Perampasan Aset dapat diartikan bahwa negara sedang dikuasai oleh kekuatan ekonomi yang mendominasi sistem sosial, politik, dan hukum. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan sulit untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, menjadi bukti nyata betapa mendesaknya pengesahan RUU Perampasan Aset. RUU ini akan menjadi senjata ampuh bagi negara untuk mengejar dan merampas aset para koruptor, serta memberikan efek jera bagi calon pelaku korupsi.
Di tengah wacana efisiensi anggaran, pengesahan RUU Perampasan Aset jauh lebih masuk akal untuk direalisasikan daripada menghamburkan anggaran untuk membangun penjara baru. Pengesahan RUU ini adalah wujud political will dari pemerintah untuk memberantas korupsi secara tuntas. Jika RUU ini tidak segera disahkan, maka korupsi akan terus merajalela di Indonesia.