PSN PIK II dan UU Cipta Kerja: Ketika Investasi Menggerus Hak Rakyat dan Lingkungan

PSN PIK II dan UU Cipta Kerja: Ketika Investasi Menggerus Hak Rakyat dan Lingkungan

Terungkapnya permasalahan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK II seharusnya menjadi momentum penting untuk mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan afirmasi investasi yang seringkali mengabaikan hak-hak dasar masyarakat. Investasi, yang sering digembar-gemborkan sebagai solusi pertumbuhan ekonomi, justru menunjukkan dampak negatif yang signifikan.

Kritik terhadap UU Cipta Kerja telah lama bergulir sejak awal pembentukannya. Undang-undang ini menciptakan polarisasi tajam di masyarakat, dengan sebagian pihak menganggapnya sangat kapitalistik dan tidak adil, sementara yang lain melihatnya sebagai pendorong kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Regulasi yang terintegrasi ini, yang menggabungkan berbagai klausul dalam satu norma, menuai kritik karena dianggap terlalu luas dan mencampuri berbagai aspek kehidupan.

Oligarki dan Pemaksaan Ide

Fenomena oligarki tidak hanya terbatas pada penguasaan sumber daya, tetapi juga mencakup pemaksaan ideologi. Regulasi yang seharusnya disusun dengan partisipasi publik yang luas justru diputuskan oleh segelintir orang. Proses penyusunan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru, mengabaikan partisipasi publik dengan alasan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Investasi dipandang sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, eksklusivitas ini harus tunduk pada konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan ini membuka tabir bahwa ada masalah mendasar dalam proses penyusunan undang-undang tersebut. Pemerintah dinilai terburu-buru memaksakan kehendaknya, mengabaikan konstitusi yang seharusnya menjadi pembela akal sehat.

UU Cipta Kerja mengandung banyak kontroversi. Proses pembentukannya yang tidak melibatkan partisipasi publik menjadi ciri khas dari UU Omnibus ini. Undang-undang ini mengatur terlalu banyak hal yang tidak saling berkaitan, sehingga terkesan tumpang tindih dan tidak jelas.

Kudeta Konstitusional?

Efisiensi dipaksakan sebagai landasan utama dalam proses legislasi yang seharusnya demokratis. Peraturan dibuat dengan tergesa-gesa, sehingga memunculkan kontroversi. Pemerintah bahkan menerbitkan Perpu 2/2022, yang kemudian menjadi UU 6/2023, yang dianggap sebagai bentuk kudeta konstitusional karena mengabaikan perintah MK untuk memperbaiki prosedur penyusunan legislasi. Pemerintah dinilai memanfaatkan klausul kegentingan memaksa dan berlindung di balik narasi prerogatif, yang hanya akan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi.

Suara rakyat dan konstitusi hanya menjadi klaim retorik dalam kehidupan bernegara. Lembaga eksekutif menunjukkan sikap hegemonik dan monopolistik. Jika hal ini terus berlanjut, demokrasi terancam dibajak oleh kepentingan oligarki.

Investasi: Antara Harapan dan Dehumanisasi

Investasi dapat menjadi katalisator pembangunan dan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Investasi yang berpihak pada rakyat akan menciptakan pembangunan yang merata dan partisipatif. Namun, investasi juga dapat menjadi sumber masalah, terutama jika hanya berorientasi pada keuntungan semata dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

Kebijakan PSN PIK II menjadi contoh nyata dari kebijakan afirmasi yang tidak transparan. Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan "strategis" dalam UU Cipta Kerja maupun aturan turunannya. Kebijakan PSN PIK II yang menjadi otoritas mutlak pemerintah merupakan contoh nyata dari legisme yang tidak partisipatif.

Sepanjang 2014-2024, tercatat 233 PSN. Permasalahan yang terjadi di PSN PIK II hanyalah puncak gunung es dari potensi permasalahan dalam penetapan PSN.

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa selama 2020-2024, terjadi 154 konflik agraria akibat PSN seluas satu juta hektar dan 103 ribu keluarga menjadi korban. Komnas HAM juga menerima 114 aduan dugaan pelanggaran HAM terkait PSN selama 2020-2023. Kontras menemukan 13 peristiwa pelanggaran HAM dalam proyek-proyek PSN, termasuk kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang, pengrusakan, okupasi lahan, intimidasi, dan penganiayaan.

Berbagai temuan dan laporan tersebut menegaskan bahwa PSN tidak terlepas dari masalah, bahkan menjadi penyebab konflik dan kekerasan agraria. Investasi ultraliberal hanya berdampak pada dehumanisasi dan kerusakan lingkungan yang parah. Banyak korban jiwa berjatuhan akibat kekerasan komunal agraria, dan laju deforestasi semakin meningkat.

Jika kondisi ini terus berlanjut, PSN akan menjadi teater berdarah dan kekerasan struktural negara. Evaluasi menyeluruh terhadap substansi legislasi yang mendasarinya, yaitu UU Cipta Kerja, harus menjadi perhatian utama pemerintah. Hal ini membutuhkan akal sehat dan nurani yang berkeadilan.

Kebijakan obral insentif hanya akan semakin meminggirkan hak kepemilikan rakyat atas kekayaan alam. Kelompok oligarki sudah terlalu banyak menikmati kemudahan yang diberikan negara, tetapi mengabaikan nasib jutaan rakyat.

Pengarusutamaan humanisme dan keberlanjutan lingkungan adalah suatu keharusan. Dengan deklarasi HAM sedunia yang bertema "Hak-Hak Kita, Masa Depan Kita, Saat Ini", pemerintah seharusnya mampu menjaga harmoni keberagaman menuju Indonesia Emas 2045. Pembiaran atau pemihakan pada norma kapitalistik akan mencerminkan tindakan pemerintah yang kontradiktif: mengklaim kepentingan rakyat sambil merampas hak konstitusional mereka.