Gletser Puncak Jayawijaya Terancam Lenyap dalam Hitungan Bulan, Dampak Perubahan Iklim Semakin Nyata

Gletser Puncak Jayawijaya Terancam Lenyap dalam Hitungan Bulan, Dampak Perubahan Iklim Semakin Nyata

Fenomena perubahan iklim global terus menunjukkan dampaknya secara nyata. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa gletser abadi yang berada di Puncak Jayawijaya, Papua, akan mengalami kepunahan dalam waktu dekat, diprediksi pada tahun 2026. Hilangnya lapisan es ini menjadi indikator kuat betapa seriusnya ancaman perubahan iklim terhadap ekosistem dan lingkungan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa mencairnya es di Puncak Jayawijaya memiliki kemiripan dengan kondisi yang terjadi di Pegunungan Himalaya. Himalaya, yang membentang di beberapa negara seperti Pakistan, Bhutan, India, Nepal, dan China, merupakan rumah bagi puncak tertinggi di dunia, Gunung Everest. Kehilangan es di kedua wilayah ini menandakan adanya masalah global yang mendesak untuk diatasi.

Penyebab Utama: Emisi Gas Rumah Kaca dan Deforestasi

Perubahan iklim yang memicu mencairnya es di Puncak Jayawijaya disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Salah satu faktor pemicunya adalah deforestasi atau pembukaan hutan yang terjadi di Papua. Pembukaan hutan menyebabkan pelepasan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer, yang kemudian memerangkap panas dan meningkatkan suhu bumi.

"Hutan-hutannya sudah mulai terbuka di Papua. Tapi kalau sudah mulai terbuka, maka karbon dioksida itu juga semakin melompat dan itu akan meningkatkan lompatan suhu udara permukaan," jelas Dwikorita dalam sebuah webinar yang membahas strategi tata ruang dan mitigasi cuaca ekstrem.

Monitoring Gletser: Sejarah dan Perkembangan

BMKG telah melakukan pemantauan terhadap gletser di Puncak Jayawijaya sejak tahun 2010, bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia. Metode pemantauan awal melibatkan pemasangan stake (potongan pipa yang disambung dengan tali) untuk mengukur ketebalan es secara berkala. Pada tahun 2010, ketebalan es tercatat mencapai 32 meter. Namun, pada periode November 2015 hingga Mei 2016, ketebalan es menyusut drastis menjadi hanya 5,6 meter. Munculnya potongan pipa ke permukaan menjadi bukti nyata hilangnya volume es yang signifikan.

Sejak tahun 2017, akses langsung ke Puncak Sudirman menjadi semakin sulit. Akibatnya, pemantauan dilakukan secara visual melalui udara menggunakan flyover. Pada periode 11-15 November 2024, BMKG kembali melakukan monitoring dan menemukan bahwa luasan es telah menyusut menjadi 0,11-0,16 kilometer persegi. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan luasan es pada tahun 2022 yang mencapai 0,23 kilometer persegi.

Konsekuensi dan Tindakan yang Diperlukan

Kepunahan gletser di Puncak Jayawijaya akan memiliki konsekuensi yang luas. Selain hilangnya sumber air tawar bagi masyarakat lokal, perubahan ini juga dapat memengaruhi ekosistem dan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Lebih lanjut, mencairnya es akan berkontribusi pada kenaikan permukaan air laut, yang dapat mengancam wilayah pesisir.

Menghadapi ancaman ini, diperlukan tindakan mitigasi dan adaptasi yang komprehensif. Mitigasi mencakup upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui konservasi hutan, penggunaan energi bersih, dan praktik pertanian berkelanjutan. Adaptasi melibatkan penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi, seperti pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim.

Kepunahan gletser Puncak Jayawijaya adalah peringatan keras tentang urgensi tindakan global dalam mengatasi perubahan iklim. Perlindungan lingkungan, pengurangan emisi, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan planet ini bagi generasi mendatang.

  • Monitoring yang berkelanjutan penting untuk memahami dampak perubahan iklim.
  • Mitigasi membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperlambat perubahan iklim.
  • Adaptasi membantu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.