PBHI: Lebih dari 50.000 Aduan Pelanggaran Hukum Libatkan Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam Satu Dekade Terakhir

PBHI Soroti Tingginya Angka Aduan Pelanggaran oleh Aparat Penegak Hukum

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyoroti tingginya angka aduan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) selama satu dekade terakhir. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa puluhan ribu aduan telah diterima oleh berbagai lembaga pengawas, mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Ketua PBHI, Julius Ibrani, mengungkapkan kekhawatiran atas temuan ini dalam sebuah forum diskusi publik. Menurutnya, data aduan tersebut mencerminkan potret buram integritas dan profesionalitas APH. Ia menyebutkan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mencatat lebih dari 20.000 aduan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sementara itu, Komisi Kejaksaan menerima lebih dari 5.800 aduan yang melibatkan jaksa, dan Komisi Yudisial (KY) menerima lonjakan drastis aduan pelanggaran hakim yang mencapai lebih dari 26.000 kasus. Total jenderal jumlah aduan yang masuk mencapai lebih dari 50.000 aduan.

"Angka ini sangat mencengangkan dan menunjukkan bahwa masalah pelanggaran oleh APH masih menjadi isu krusial yang perlu segera ditangani," ujar Julius.

Lebih lanjut, Julius menjelaskan bahwa aduan yang masuk tidak hanya terbatas pada pelanggaran etika dan perilaku, tetapi juga mencakup dugaan tindak pidana seperti pungutan liar (pungli), pemerasan, penyiksaan, korupsi, hingga rekayasa perkara. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan yang ada sangat kompleks dan melibatkan berbagai tingkatan pelanggaran.

Akar Masalah dan Solusi

PBHI menilai bahwa tingginya angka aduan pelanggaran APH merupakan indikasi belum optimalnya sistem pengawasan dan pembinaan internal di masing-masing lembaga. Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum juga menjadi faktor pemicu terjadinya pelanggaran.

Untuk mengatasi permasalahan ini, PBHI mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan pembinaan APH. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:

  • Memperkuat mekanisme pengawasan internal: Meningkatkan efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh internal lembaga APH, serta memberikan sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran.
  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas: Membuka akses informasi terkait proses penegakan hukum kepada publik, serta menjamin akuntabilitas APH dalam setiap tindakan yang diambil.
  • Melakukan reformasi sistem pendidikan dan pelatihan APH: Memastikan bahwa pendidikan dan pelatihan APH menekankan pada nilai-nilai etika, profesionalisme, dan HAM.
  • Meningkatkan kesejahteraan APH: Memberikan remunerasi yang layak dan memastikan kesejahteraan APH agar terhindar dari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
  • Membangun sinergi antar lembaga pengawas: Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar lembaga pengawas seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial dalam menangani aduan pelanggaran APH.

PBHI berharap bahwa dengan adanya langkah-langkah konkret, permasalahan pelanggaran oleh APH dapat diminimalisir, sehingga tercipta sistem penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel.

Dampak Revisi KUHAP

Dalam konteks revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PBHI menekankan pentingnya memasukkan pasal-pasal yang dapat memperkuat pengawasan terhadap APH. Revisi KUHAP harus dapat menjamin hak-hak tersangka dan terdakwa, serta memberikan mekanisme yang efektif untuk melaporkan dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh APH.

Dengan adanya KUHAP yang lebih baik, diharapkan dapat tercipta sistem peradilan pidana yang lebih adil dan melindungi hak asasi manusia.