Teror di Kantor Tempo: Ujian Kebebasan Pers dan Respons Janggal Pemerintah
Teror di Kantor Tempo: Ujian Kebebasan Pers dan Respons Janggal Pemerintah
Serangkaian aksi teror yang menyasar kantor redaksi Tempo, mulai dari kiriman kepala babi hingga bangkai tikus, telah memicu kecaman luas dan menyoroti kerentanan kebebasan pers di Indonesia. Insiden ini bukan hanya sekadar tindakan kriminal, tetapi juga menjadi indikator mengkhawatirkan tentang bagaimana pemerintah merespons ancaman terhadap media yang kritis. Reaksi yang minim empati dan cenderung meremehkan dari sejumlah pejabat publik justru memperburuk situasi dan menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah terhadap perlindungan kebebasan pers.
Kegagalan Komunikasi Publik
Tanggapan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, terhadap teror kepala babi di kantor Tempo menjadi sorotan utama. Pernyataan spontan yang terkesan meremehkan ancaman tersebut dinilai sebagai bentuk kegagalan komunikasi publik yang fatal. Sebagai juru bicara pemerintah, Nasbi seharusnya menunjukkan empati dan menyampaikan pesan yang menenangkan, bukan malah melontarkan candaan yang tidak pantas. Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar komunikasi krisis, yang seharusnya mengedepankan kepedulian dan tanggung jawab dalam melindungi hak-hak warga negara, termasuk kebebasan pers.
Dampak Jangka Panjang
Rentetan peristiwa ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperlebar jurang antara pemerintah dan media. Ketika pemerintah gagal memberikan respons yang serius dan menunjukkan komitmen untuk melindungi kebebasan pers, masyarakat akan kehilangan keyakinan bahwa pemerintah benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Hal ini dapat memicu polarisasi dan menghambat upaya membangun komunikasi yang sehat dan konstruktif antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil.
Sikap Antipati dan Emosi Pribadi
Lebih lanjut, respons pemerintah terhadap teror di Tempo juga dinilai mempertebal sikap antipati terhadap jurnalis dan media kritis. Pilihan kata dan nada bicara yang meremehkan ancaman yang diterima pers dapat diinterpretasikan sebagai pembenaran tidak langsung terhadap tindakan intimidasi. Selain itu, komunikasi yang dilakukan oleh juru bicara pemerintah terkesan mengedepankan emosi pribadi dibandingkan sikap kenegarawanan, sehingga mengurangi kredibilitas pemerintah di mata publik.
Desakan untuk Bertindak
Merespons situasi ini, berbagai pihak, termasuk Dewan Pers, telah mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dan menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam melindungi kebebasan pers. Masyarakat sipil juga menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus teror di Tempo dan memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya.
Evaluasi dan Perubahan Pendekatan
Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan komunikasinya dan mengubah strategi dalam merespons ancaman terhadap kebebasan pers. Hal ini termasuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pejabat publik tentang pentingnya komunikasi krisis yang efektif, serta mengedepankan empati dan tanggung jawab dalam setiap pernyataan publik.
Harapan pada Pemerintah Baru
Masyarakat menaruh harapan besar pada pemerintahan yang baru untuk menghadirkan supremasi sipil yang kuat dan melindungi hak-hak seluruh warga negara, termasuk kebebasan pers. Pemerintah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi media untuk beroperasi tanpa rasa takut atau terintimidasi.
Tindakan Kapolri
Menanggapi kasus ini, Kapolri telah memerintahkan Kabareskrim untuk menyelidiki kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke Tempo. Tindakan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan mencegah persepsi publik yang semakin liar.
Pilar Demokrasi
Kebebasan pers adalah pilar penting dalam negara demokrasi. Pemerintah harus melindungi pilar ini dengan segala cara dan memastikan bahwa media dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengkritik pemerintah tanpa rasa takut.
Komitmen Pemerintah
Peristiwa teror di Tempo seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam menjaga kebebasan pers dan memastikan bahwa media dapat beroperasi tanpa rasa takut atau terintimidasi. Kualitas komunikasi pemerintah adalah cerminan dari kualitas demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya membangun komunikasi yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Laporan AJI
Berdasarkan laporan AJI tahun 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, meliputi:
- Kekerasan fisik
- Teror
- Intimidasi
- Pelarangan liputan
- Ancaman
- Serangan digital
- Perusakan alat
- Pembunuhan
Dengan demikian, perlindungan terhadap jurnalis merupakan hal yang krusial untuk menjaga kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
Opini oleh Muhammad Iqbal Khatami founder Muda Bicara ID, peneliti di Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)