Tata Ruang Berkelanjutan: Kunci Utama Mitigasi Bencana Hidrometeorologi Menurut BMKG

BMKG Soroti Tata Ruang dan Dampaknya pada Bencana Hidrometeorologi

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengangkat isu krusial terkait tata ruang dan pengaruhnya terhadap peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam sebuah forum diskusi virtual bertajuk “Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem”, menekankan urgensi penataan ruang yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Dwikorita mengingatkan bahwa bencana banjir, longsor, dan cuaca ekstrem lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh faktor curah hujan tinggi. Ia menggarisbawahi bahwa degradasi lingkungan, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan dampak perubahan iklim global turut memainkan peran signifikan dalam memperparah dampak bencana.

"Penting untuk tidak mengabaikan tata ruang yang memperhatikan perubahan lingkungan. Hal ini harus menjadi perhatian dan pembahasan bersama," tegas Dwikorita.

Studi Kasus Banjir Jabodetabek: Kompleksitas Penyebab Banjir

Untuk mengilustrasikan kompleksitas permasalahan ini, BMKG mengambil contoh kasus banjir yang melanda wilayah Jabodetabek. Dwikorita menjelaskan bahwa meskipun curah hujan pada kejadian banjir tertentu di Jabodetabek relatif tidak terlalu ekstrem dibandingkan wilayah lain, dampaknya justru jauh lebih signifikan.

"Kita lihat dampak banjir yang paling parah di Jabodetabek, padahal kumpulan awannya itu paling kecil," ungkapnya.

BMKG membandingkan data satelit yang menunjukkan adanya awan kumulonimbus yang lebih besar di wilayah Palembang, Lampung, dan Kalimantan Barat. Namun, banjir yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut tidak separah yang terjadi di Jabodetabek. Perbandingan data curah hujan di Bekasi pada Januari 2020 juga menunjukkan hal serupa. Meskipun curah hujan saat itu mencapai lebih dari 300 mm dan masuk kategori ekstrem, dampak banjirnya tidak sebesar banjir tahun 2025 dengan curah hujan sekitar 200 mm.

Degradasi DAS Ciliwung dan Urbanisasi: Faktor Pemicu Banjir yang Lebih Parah

Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalami degradasi dan masifnya urbanisasi di wilayah Jabodetabek menjadi perhatian serius BMKG. Perubahan tata guna lahan yang drastis, berkurangnya lahan terbuka hijau dari tahun ke tahun, dan pemanasan lokal (urban heat island effect) dinilai berkontribusi terhadap kenaikan suhu, perubahan pola hidrologi, dan peningkatan risiko banjir.

"Perubahan tata guna lahan dan pemanasan lokal juga berperan. Lahan terbuka semakin berkurang dari tahun ke tahun, yang berkontribusi terhadap kenaikan suhu dan perubahan pola hidrologi," jelas Dwikorita.

Rekomendasi BMKG: Tata Ruang Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana

Berdasarkan analisis tersebut, BMKG merekomendasikan agar pemerintah daerah dan pihak terkait lebih serius dalam menata ruang wilayah. Penataan ruang yang berkelanjutan, memperhatikan daya dukung lingkungan, dan adaptif terhadap perubahan iklim menjadi kunci utama untuk mengurangi risiko dan dampak bencana hidrometeorologi di masa depan.

Adapun poin rekomendasi dari BMKG adalah:

  • Pengendalian alih fungsi lahan: Pembatasan dan pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan, terutama di kawasan resapan air dan daerah rawan banjir.
  • Peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH): Penyediaan RTH yang memadai di perkotaan untuk meningkatkan penyerapan air dan mengurangi efek pemanasan lokal.
  • Normalisasi sungai dan drainase: Pemeliharaan dan normalisasi sungai serta sistem drainase untuk meningkatkan kapasitas tampung air dan memperlancar aliran.
  • Pengembangan sistem peringatan dini: Peningkatan sistem peringatan dini berbasis teknologi dan partisipasi masyarakat untuk memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai potensi bencana.
  • Edukasi dan kesadaran masyarakat: Peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai risiko bencana dan cara-cara mitigasi yang efektif.

Dengan penataan ruang yang tepat dan implementasi langkah-langkah mitigasi yang komprehensif, diharapkan risiko dan dampak bencana hidrometeorologi di Indonesia dapat diminimalkan, sehingga masyarakat dapat hidup lebih aman dan sejahtera.