Dilema Energi Indonesia: Menimbang Nuklir di Tengah Transisi EBT

Menimbang Energi Nuklir: Solusi atau Risiko bagi Indonesia?

Indonesia kini berada di persimpangan jalan dalam menentukan arah kebijakan energinya. Pemerintah secara resmi memasukkan energi nuklir ke dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, sebuah langkah yang mengindikasikan keseriusan dalam mempertimbangkan nuklir sebagai bagian dari solusi energi masa depan. Targetnya ambisius: hampir 8% dari total kapasitas pembangkit listrik nasional pada tahun 2060 diharapkan berasal dari energi atom ini.

Keputusan ini muncul di tengah upaya global untuk transisi menuju energi bersih dan mencapai target nol emisi. Nuklir dipandang sebagai sumber baseload yang stabil, mampu menjamin pasokan listrik berkelanjutan di tengah fluktuasi energi terbarukan variabel (VRE) seperti tenaga surya dan angin. Namun, pertanyaan krusialnya adalah: apakah nuklir benar-benar pilihan yang tepat untuk Indonesia?

Belajar dari Pengalaman Global: Eropa dan Dilema Transisi Energi

Tragedi Chernobyl dan Fukushima menjadi pengingat pahit akan potensi risiko yang terkait dengan energi nuklir. Modal awal yang besar, mencapai miliaran dolar per gigawatt, serta waktu pembangunan yang lama juga menjadi pertimbangan serius. Akan tetapi, krisis energi yang melanda Eropa akibat konflik Ukraina telah mengubah perspektif banyak negara tentang pentingnya ketahanan energi.

Prancis, misalnya, tetap mengandalkan nuklir sebagai tulang punggung sistem kelistrikannya, menyumbang hampir 70% dari total produksi listrik. Di sisi lain, Jerman memilih untuk sepenuhnya meninggalkan nuklir dan beralih ke VRE. Namun, ketergantungan pada energi surya dan angin terbukti menimbulkan masalah, terutama saat kondisi cuaca tidak mendukung (Dunkelflaute). Jerman terpaksa mengimpor listrik dari negara-negara tetangga, menyebabkan lonjakan harga yang signifikan.

Pengalaman Eropa mengajarkan bahwa transisi energi yang sukses membutuhkan keseimbangan antara sumber baseload yang stabil dan VRE. Studi menunjukkan bahwa komposisi ideal adalah sekitar 60-70% energi baseload dan 30-40% VRE.

Tantangan Indonesia: Kebutuhan Energi Masa Depan dan Potensi EBT

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, telah menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai target nol emisi pada tahun 2050, dengan mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, namun sebagian besar berupa energi variabel seperti tenaga angin dan surya. Sumber baseload terbarukan seperti panas bumi, hidro, dan bioenergi memiliki potensi yang signifikan, tetapi pemanfaatannya masih sangat rendah.

Bahkan jika seluruh potensi EBT dimanfaatkan secara maksimal, diperkirakan hanya akan menghasilkan sekitar 837 TWh pada tahun 2050, jauh di bawah proyeksi kebutuhan listrik yang mencapai 2.000 TWh. Penyimpanan energi skala besar dapat menjadi solusi untuk mengatasi fluktuasi VRE, tetapi teknologi ini masih mahal dan memiliki risiko keamanan.

Kelayakan Ekonomi Nuklir: Pertimbangan LFSCOE

Secara ekonomis, energi nuklir memiliki biaya awal yang tinggi, tetapi dapat bersaing dengan energi terbarukan jika menggunakan metode perhitungan levelized full system cost of electricity (LFSCOE). Metode ini memperhitungkan seluruh biaya tambahan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan sistem listrik, termasuk penyimpanan energi, infrastruktur jaringan tambahan, dan cadangan daya.

Dengan metode LFSCOE, biaya produksi listrik tenaga nuklir di Jerman jauh lebih murah dibandingkan tenaga surya dan angin. Hal ini menunjukkan bahwa nuklir dapat menjadi pilihan yang ekonomis dalam jangka panjang.

Alternatif untuk Indonesia: SMR dan Kemitraan Strategis

Indonesia perlu mempertimbangkan pendekatan bertahap dalam mengembangkan energi nuklir. Alih-alih langsung membangun pembangkit skala besar, pengembangan Small Modular Reactors (SMR) yang lebih fleksibel dan aman dapat menjadi pilihan yang lebih bijaksana. Selain itu, mengingat keterbatasan cadangan mineral nuklir di Indonesia, kemitraan strategis dengan negara-negara kaya sumber daya seperti Kazakhstan, Kanada, Australia, dan Namibia menjadi sangat penting.

Standar keamanan yang super ketat tidak bisa ditawar. Transisi energi adalah sebuah keharusan, tetapi setiap opsi memiliki tantangan dan konsekuensi. Jika nuklir menjadi salah satu pilihan, maka semua untung dan ruginya harus ditimbang dengan sangat cermat dan transparan.

Pilihan energi di tangan Indonesia: Pertimbangkan baik-baik!

List Pertimbangan Keputusan:

  • Kebutuhan Energi Nasional
  • Ketersediaan Sumber Energi Terbarukan
  • Stabilitas Pasokan Energi
  • Dampak Lingkungan
  • Biaya Investasi dan Operasional
  • Keamanan Pembangkit Listrik
  • Ketersediaan Teknologi
  • Regulasi dan Kebijakan Pemerintah