Perang Tarif Era Trump Jilid II: Beban Ekonomi Global dan Resiliensi Indonesia

Dampak Global Perang Tarif Trump Jilid Kedua: Analisis Mendalam

Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Donald Trump pada periode keduanya sebagai Presiden Amerika Serikat telah memicu gelombang kekhawatiran di seluruh dunia. Kebijakan kontroversial ini, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa pada periode sebelumnya, kini memiliki dampak yang jauh lebih luas dan kompleks. Perang dagang yang diinisiasi oleh Trump tidak hanya melibatkan China, tetapi juga mitra dagang utama AS seperti Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Lantas, siapa sebenarnya yang menanggung beban utama dari kebijakan ini, dan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi global dan domestik?

Memahami Mekanisme dan Tujuan Tarif

Secara fundamental, tarif adalah pajak yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang-barang impor. Di Indonesia, tarif lebih dikenal sebagai bea masuk. Tujuan utama dari pengenaan tarif adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Lembaga riset Tax Foundation memperkirakan bahwa tarif Trump jilid kedua ini akan menambah penerimaan pajak AS sebesar 3,8 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan. Namun, lebih dari sekadar sumber pendapatan, tarif juga merupakan instrumen kebijakan proteksionisme yang bertujuan melindungi industri domestik dari persaingan produk impor. Pengenaan tarif akan berdampak signifikan pada arus perdagangan antarnegara. Kenaikan tarif akan meningkatkan harga barang impor bagi konsumen, yang pada gilirannya dapat menurunkan permintaan terhadap barang-barang tersebut.

Dampak Ganda Tarif: Domestik dan Internasional

Dampak tarif bersifat dua arah. Pertama, tarif memengaruhi ekonomi dalam negeri melalui kenaikan harga barang dan jasa, yang berpotensi memicu inflasi. Tidak hanya harga barang impor langsung yang terpengaruh, tetapi juga biaya produksi industri yang bergantung pada komponen impor. Situasi ini dapat memicu kembali lonjakan inflasi di AS, meskipun sebelumnya telah menunjukkan tren penurunan di bawah pemerintahan Joe Biden. Pada Februari 2025, inflasi AS tercatat sebesar 2,8 persen, masih di atas target bank sentral The Fed sebesar 2 persen. Kedua, tarif berdampak pada negara-negara mitra dagang yang terkena dampaknya. Penurunan konsumsi barang impor akan merugikan industri ekspor dan neraca perdagangan negara-negara tersebut, yang berpotensi mengkontraksi pertumbuhan ekonomi mereka.

Bagi Trump, tarif merupakan alat strategis untuk memaksa negara mitra bertindak sesuai kepentingan AS. Misalnya, pengenaan tarif terhadap Kanada dan Meksiko bertujuan untuk mendorong kedua negara tersebut mengatasi masalah migrasi dan peredaran obat ilegal yang merugikan AS. Namun, alih-alih memenuhi tuntutan tersebut, negara-negara mitra cenderung melakukan retaliasi dengan menerapkan tarif balasan, yang akhirnya memicu perang dagang yang berkepanjangan.

Eskalasi Perang Dagang dan Dampak Ekonomi

Setelah AS mengenakan tarif, negara-negara seperti Kanada, Meksiko, dan China membalas dengan tarif resiprokal. Bahkan, Uni Eropa berencana mengenakan tarif 50 persen atas sejumlah barang AS setelah Trump mengumumkan tarif 25 persen atas impor logam dan aluminium dari semua negara. Eskalasi ini menimbulkan dampak langsung berupa kenaikan harga barang impor dan penurunan volume ekspor. Industri yang bergantung pada perdagangan internasional akan terkena dampak paling parah, yang berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan penyusutan neraca perdagangan.

Kekhawatiran akan dampak ini tercermin dalam sinyal "hawkish" dari The Fed, yang mengindikasikan pengetatan moneter di tengah proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi, kenaikan pengangguran, dan inflasi. Kebijakan suku bunga tinggi yang dipertahankan The Fed membuat pasar keuangan internasional mengalami kemerosotan. Di bursa saham AS, seluruh indeks utama berada di level yang lebih rendah dibandingkan saat Pemilu AS pada November 2024. Dampak serupa juga dirasakan di bursa saham Indonesia, di mana IHSG telah merosot hingga 20 persen sejak mencapai level tertinggi pada September 2024.

Dampak terhadap Indonesia: Tantangan dan Peluang

Meski tidak terlibat langsung dalam perang tarif, Indonesia tetap merasakan dampaknya. Ketidakpastian ekonomi global mendorong investor asing untuk menarik modal dari pasar negara berkembang seperti Indonesia dan mengalihkannya ke aset yang lebih aman. Selain itu, suku bunga acuan AS yang tinggi dapat memperkuat nilai dollar AS, yang berpotensi melemahkan nilai rupiah. Perlambatan ekonomi di AS dan China, sebagai tujuan ekspor utama Indonesia, juga akan menurunkan permintaan atas barang-barang asal Indonesia. Hal ini dapat mengancam surplus neraca perdagangan yang telah berlangsung sejak pertengahan 2020.

Penurunan harga komoditas, yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, akan berdampak signifikan pada nilai ekspor dan keuntungan industri eksportir dalam negeri. Selain itu, eksportir China mungkin akan mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia, yang berisiko meningkatkan dumping produk China dan merugikan industri lokal, seperti industri tekstil yang telah mengalami PHK massal.

Strategi Mitigasi: Memperkuat Resiliensi Ekonomi Nasional

Di tengah proyeksi ekonomi global yang pesimis, langkah mitigasi terbaik adalah memperkuat resiliensi ekonomi dan politik dalam negeri. OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 3,1 persen pada 2025. Namun, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh di atas rata-rata global, yakni 4,9 persen. Mempertahankan keyakinan investor dan melakukan diversifikasi ekspor menjadi kebijakan penting untuk memitigasi risiko perlambatan ekonomi global.

Data historis menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen saat terjadi perang dagang pada 2018 dan 2019. Hal ini menunjukkan adanya resiliensi ekonomi yang kuat. Dengan mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri, ada optimisme bahwa ekonomi nasional akan tetap mampu bertahan di tengah gejolak eksternal dari perang dagang global.

  • Diversifikasi Pasar Ekspor: Mengurangi ketergantungan pada AS dan China dengan mencari pasar ekspor baru.
  • Peningkatan Daya Saing: Meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri untuk bersaing dengan produk impor.
  • Stabilitas Makroekonomi: Menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah tetap stabil untuk menarik investasi asing.
  • Pengembangan Sektor Domestik: Mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi domestik untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor.