RUU KUHAP: Penggunaan CCTV dalam Proses Hukum Masih Menyisakan Kekhawatiran
RUU KUHAP: Penggunaan CCTV dalam Proses Hukum Masih Menyisakan Kekhawatiran
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memasukkan ketentuan mengenai penggunaan kamera CCTV dalam proses pemeriksaan, menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Mereka menilai bahwa aturan tersebut belum sepenuhnya menjawab permasalahan yang ada dalam sistem peradilan pidana saat ini.
Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyoroti beberapa poin krusial dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP). Salah satunya adalah Pasal 31 Ayat (2) yang dinilai belum mewajibkan perekaman seluruh proses pemeriksaan melalui CCTV. Hal ini membuka celah terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa yang seharusnya dilindungi secara tegas. Selain itu, tidak adanya kewajiban pemasangan CCTV di ruang tahanan juga menjadi perhatian serius.
"Ketentuan ini memberikan celah besar terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, yang seharusnya dilindungi secara tegas. Selain itu, dalam pasal tersebut juga tidak disebutkan adanya kewajiban untuk pemasangan CCTV di tempat penahanan," kata Isnur.
Potensi Konflik Kepentingan dalam Pengelolaan Rekaman CCTV
Masalah lain yang diangkat adalah terkait pengelolaan rekaman CCTV. Pasal 31 ayat (3) RUU KUHAP menyebutkan bahwa rekaman tersebut berada dalam penguasaan penyidik. Menurut Isnur, hal ini bertentangan dengan prinsip check and balance. Seharusnya, pengelolaan rekaman CCTV dilakukan oleh lembaga independen yang tidak terlibat langsung dalam perkara.
"Sebab rekaman tersebut merupakan bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika membutuhkan. Yang jelas, jangan sampai rekamannya dikuasai hanya oleh penyidik, dan tanpa pengawasan," tegasnya.
Koalisi juga menyoroti Pasal 31 ayat (4) RUU KUHAP yang memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa untuk mengakses rekaman CCTV atas permintaan hakim. Namun, RUU ini tidak mengatur secara rinci mekanisme pemberian akses tersebut. Ketiadaan mekanisme yang jelas dapat menghambat tersangka atau terdakwa dalam menggunakan rekaman CCTV untuk membela diri.
Perlindungan Hak Kelompok Rentan dan Pencegahan Penyiksaan
Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil menekankan pentingnya pencegahan penyiksaan dan kekerasan secara sistemik. Menurut mereka, check and balances harus diterapkan sejak awal penangkapan dan penahanan. Sistem ini harus dijalankan oleh lembaga yang independen dan imparsial, yaitu pengadilan. Sayangnya, RUU KUHAP belum mengatur mekanisme yang mewajibkan kehadiran orang yang ditangkap di hadapan hakim dalam waktu tertentu (misalnya, 48 jam setelah penangkapan) untuk meninjau proses penangkapan dan menentukan perlu tidaknya penahanan.
Selain itu, Koalisi juga menyoroti aturan mengenai hak-hak kelompok rentan dalam Pasal 137-139 RUU KUHAP. Mereka menilai bahwa aturan tersebut dibuat tanpa adanya mekanisme operasional yang jelas. Masalah serupa juga ditemukan pada ketentuan mengenai hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban.
"Ini bukan hanya sekadar kekurangan, tetapi sebuah pengabaian terhadap kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat diakses dan dinikmati secara nyata," kata Isnur.
Ia menambahkan bahwa RUU KUHAP tidak menjelaskan pihak mana yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak tersebut, forum untuk mengajukan keberatan atas dugaan pelanggaran hak, serta konsekuensi pelanggaran hak. Tanpa langkah konkret, pencantuman hak-hak ini hanya akan menjadi simbol kosong.
Klaim DPR RI
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengeklaim bahwa revisi KUHAP akan memperkuat upaya pencegahan kekerasan selama proses penegakan hukum. Salah satu upayanya adalah dengan menyiagakan kamera pengawas atau CCTV di ruang pemeriksaan dan penahanan.
"Di KUHAP yang baru ini kita siasati, kita atur agar berkurang semaksimal mungkin. Di antaranya dengan pengadaan CCTV atau kamera pengawas dalam setiap pemeriksaan dan di setiap ruangan di mana ada penahanan. Jadi di ruang tahanan itu harus ada CCTV, dan dalam setiap pemeriksaan harus ada perekaman. Ini di pasal 31 nanti ya," kata Habiburokhman.
Menurutnya, poin soal kamera pengawas akan ditambahkan dalam revisi KUHAP guna mencegah adanya peluang kekerasan atau intimidasi.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa implementasi CCTV saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa yang jelas.