Kebebasan Pers Terancam: Intimidasi 'Kepala Babi' dan Respons Istana yang Kontroversial

Ancaman Terhadap Kebebasan Pers: Sebuah Refleksi Atas Intimidasi dan Respons Pemerintah

"Dasar pemerintahan kita adalah opini rakyat, tujuan pertama adalah menjaga hak itu; dan jika diserahkan kepada saya untuk memutuskan apakah kita harus memiliki pemerintahan tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintahan, saya tidak akan ragu sedetik pun untuk memilih yang terakhir." - Thomas Jefferson, 1787

Kebebasan pers adalah pilar utama dalam masyarakat yang demokratis. Tanpa pers yang bebas, masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang tindakan penguasa, elit politik, dan para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab atas kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Arena politik seringkali dipenuhi dengan intrik dan manipulasi yang dapat merugikan kepentingan publik, sehingga peran pers sebagai pengawas sangat penting.

Lebih dari dua abad lalu, Thomas Jefferson menekankan pentingnya kebebasan pers. Ia bahkan menyatakan bahwa jika harus memilih antara "negara tanpa pers" atau "pers tanpa negara," ia akan memilih yang terakhir tanpa ragu-ragu. Pandangan ini menunjukkan betapa pentingnya pers yang bebas bagi salah satu pendiri Amerika Serikat tersebut. Jefferson juga mengatakan, "Kemerdekaan kita bergantung pada kebebasan pers, dan itu tidak dapat dibatasi tanpa hilang." Ia menyerukan "jihad" untuk membela dan mendukung kebebasan pers.

Di Indonesia, semangat untuk menghormati kebebasan pers muncul kembali setelah jatuhnya Orde Baru. Namun, masih banyak hal yang perlu diketahui publik yang belum terungkap, seperti korupsi, patronase politik, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk kriminalitas yang melibatkan kekuasaan. Tanpa kebebasan pers, Indonesia akan berada dalam kegelapan.

Baru-baru ini, sebuah insiden mengkhawatirkan menimpa salah satu media nasional terkemuka, yang menerima paket berisi kepala babi dan bangkai tikus. Insiden ini merupakan bentuk intimidasi yang jelas terhadap kebebasan pers. Namun, respons dari pihak Istana, khususnya Kepala Presidential Communication Office (PCO), justru menuai kontroversi.

Pernyataan Kepala PCO dinilai kurang empatik dan justru memperlihatkan posisi yang kurang jelas terhadap media. Publik telah lama menyadari bahwa sikap Prabowo Subianto terhadap media kurang "jelas," meskipun ia berusaha memberikan pernyataan yang suportif di ruang publik. Pernyataan-pernyataan yang kurang "menyejukkan" dari PCO berpotensi memperburuk citra tersebut.

Seharusnya, PCO menunjukkan empati kepada media yang mendapat ancaman, sebagai penegasan bahwa pemerintah mendukung kebebasan pers dan mengecam segala bentuk intimidasi. Respons yang kurang apresiatif dan empatik dapat mengarahkan pandangan publik kepada opsi-opsi negatif yang selama ini tersimpan di dalam ingatan publik. Hal ini juga dapat membenarkan asumsi bahwa Prabowo kurang sensitif terhadap kebebasan pers, sehingga lupa memberikan "disclosure" yang tegas kepada SDM-SDM utama di kantor PCO agar memberikan dukungan penuh kepada media yang mengalami intimidasi.

Selain itu, respons tersebut secara tidak langsung mendorong persepsi publik, terutama pendukung penguasa, untuk semakin tidak "aware" dan tidak "peduli" dengan spirit kebebasan media. Hal ini memberikan contoh yang kurang baik dan berpotensi melahirkan sikap yang sama dari publik kepada media di kemudian hari. Jika hal ini terjadi, kebebasan pers berpotensi dianggap tidak penting lagi oleh publik, yang pada akhirnya akan mengarah pada monopoli kebenaran oleh pihak kekuasaan dan "jejaringnya."

Kondisi makropolitik saat ini, di mana oposisi atau kekuatan politik yang setara dengan oposisi nyaris sudah tidak ada, semakin memperburuk situasi. Tokoh-tokoh intelektual pun satu per satu mulai berubah menjadi intelektual pelat merah, dan "oposisi jalanan" dari kampus-kampus pun pelan-pelan menghilang. Kekuatan masyarakat sipil, terutama NGO, juga nyaris terlemahkan. Di dunia media dan pers, penyusutan bisnis dan jebakan "kubu-kubuan" akibat keberpihakan konglomerasi media kepada kekuasaan, membuat pergerakan media konvensional dan mainstream sangat terbatas.

Untungnya, masih ada beberapa media yang layak dijadikan sumber informasi pembanding dan alternatif bagi masyarakat, agar terbebas dari perangkap informasi satu pintu dan kaku versi penguasa. Keberadaan media-media ini sangat perlu diperhatikan dan dijaga. Robert Dahl dalam "On Democracy" menyatakan bahwa keberadaan sumber informasi alternatif yang independen dan jauh dari pengaruh penguasa adalah parameter penting dalam melihat eksistensi demokrasi di suatu negara.

Sikap dan pernyataan Kepala PCO justru menggambarkan hal sebaliknya. Pernyataan tersebut mempertegas asumsi bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap kebebasan pers dan cenderung "ignorant" terhadap segala ancaman yang datang kepada media yang berusaha merealisasikan prinsip kebebasan pers. Meminta media yang diintimidasi dengan paket kepala babi untuk memasak kepala babi tersebut, terkesan mengandung makna bahwa Istana menginginkan media untuk mengikuti keinginan pengirim paket tersebut, yaitu untuk mulai bungkam.

Bagi kekuasaan hari ini, kebebasan pers mungkin sudah bukan hal yang penting lagi bagi demokrasi. Bahkan, demokrasi itu sendiri mungkin sudah tidak penting lagi bagi penguasa. Oleh karena itu, sangat penting bagi PCO untuk meluruskan kembali sikapnya kepada kasus paket kepala babi tersebut. Hal ini bukan saja untuk memperbaiki citra penguasa terkait dengan isu kebebasan pers, tetapi juga untuk menunjukkan kepada publik bahwa Istana masih terletak di atas fondasi demokrasi yang kuat dan mendukung keberadaan sumber-sumber informasi alternatif yang dijalankan dengan spirit kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sikap positif tersebut akan mempermudah pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa Indonesia memang tidak sedang gelap.