RUU TNI Disahkan: Masyarakat Adat Terancam, Konflik Agraria Berpotensi Meningkat
Pengesahan RUU TNI Menuai Kritik: Ancaman bagi Masyarakat Adat Menguat
Pengesahan Revisi Undang-Undang (UU) TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, terutama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN menilai bahwa UU TNI yang baru disahkan ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi keamanan dan hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia. Kekhawatiran utama terletak pada potensi peningkatan eskalasi konflik agraria dan penggunaan pendekatan militeristik dalam penanganan sengketa lahan.
Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, menegaskan bahwa pengesahan UU TNI ini tidak memiliki urgensi yang jelas bagi kepentingan rakyat, khususnya masyarakat adat. Menurutnya, UU ini justru membuka peluang bagi tindakan represif terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Ia khawatir bahwa sengketa lahan dan konflik sumber daya alam akan ditangani dengan cara-cara militeristik, mengabaikan hak-hak asasi manusia dan kearifan lokal.
Trauma Masa Lalu: Penggusuran dan Perampasan Wilayah Adat
AMAN menyoroti sejumlah kasus di masa lalu yang melibatkan keterlibatan TNI dalam konflik agraria. Salah satu contoh yang mencolok adalah penggusuran wilayah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di Kampung Durian Selemak, Sumatera Utara pada tahun 2020. Dalam peristiwa tersebut, PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dibantu oleh ratusan anggota TNI melakukan penggusuran paksa yang mengakibatkan kekerasan terhadap anak-anak, perempuan, dan orang tua.
Kasus lain yang menjadi perhatian adalah perampasan wilayah adat masyarakat adat Marafenfen oleh TNI AL untuk pembangunan pangkalan udara. Meskipun masyarakat adat telah mengajukan gugatan hukum atas lahan seluas 689 hektare, majelis hakim justru menolak gugatan tersebut. Kasus-kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana keterlibatan TNI dalam urusan sipil dapat merugikan masyarakat adat dan memperburuk konflik agraria.
Pasal Kontroversial: Jabatan TNI Aktif di Kementerian/Lembaga Sipil
Salah satu poin krusial dalam UU TNI yang baru disahkan adalah perubahan Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan TNI aktif di kementerian/lembaga sipil. UU TNI sebelumnya mensyaratkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Namun, dalam UU TNI yang baru, ketentuan ini diubah sehingga memungkinkan TNI aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga.
Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi tumpang tindih kewenangan dan hilangnya profesionalisme dalam birokrasi sipil. Selain itu, dikhawatirkan bahwa penempatan personel TNI aktif di jabatan sipil dapat memperkuat pengaruh militer dalam pengambilan kebijakan publik dan mengancam prinsip supremasi sipil.
Tugas Tambahan TNI: Ancaman Siber dan Perlindungan WNI di Luar Negeri
UU TNI yang baru juga menambahkan tugas pokok TNI dalam Pasal 7 Ayat (15) dan (16). Pasal 7 Ayat (15) menambahkan tugas soal membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber. Ayat selanjutnya, terkait tugas membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Penambahan tugas ini menimbulkan pertanyaan mengenai kapabilitas dan kompetensi TNI dalam bidang-bidang tersebut. Beberapa pihak berpendapat bahwa penanggulangan ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri lebih tepat ditangani oleh lembaga sipil yang memiliki keahlian dan sumber daya yang memadai.
Tuntutan AMAN: Sahkan UU Masyarakat Adat
Merespon pengesahan UU TNI yang kontroversial ini, AMAN menyerukan kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat. UU Masyarakat Adat dinilai penting untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat, sumber daya alam, dan identitas budaya mereka.
AMAN berharap bahwa dengan adanya UU Masyarakat Adat, konflik agraria dapat diminimalisir dan hak-hak masyarakat adat dapat dijamin secara konstitusional. Selain itu, AMAN juga mendesak pemerintah untuk melakukan dialog yang inklusif dan partisipatif dengan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan mereka.